Selasa, 09 November 2010

Ayah…
Kepadanya tanganku menadah
Didadanya kulepaskan segala gundah
Ayah tak pernah lelah
Dan selalu mengalah
Walau anaknya kerap bikin susah


Ayah…
Ada dan tiada kau selalu kucinta
Kepada tuhan kuhaturkan Do’a
Semoga ayah selalu bahagia
Dimanapun raga dan jiwamu berada


Ayah…
Kurindukan hadirmu disisiku
Walaupun kini kita tak mampu bersua
Namun ayah selalu dihati…
Ayah…
Kepadanya tanganku menadah
Didadanya kulepaskan segala gundah
Ayah tak pernah lelah
Dan selalu mengalah
Walau anaknya kerap bikin susah


Ayah…
Ada dan tiada kau selalu kucinta
Kepada tuhan kuhaturkan Do’a
Semoga ayah selalu bahagia
Dimanapun raga dan jiwamu berada


Ayah…
Kurindukan hadirmu disisiku
Walaupun kini kita tak mampu bersua
Namun ayah selalu dihati…

Kamis, 17 Juni 2010

मेंकारी तुबुह ayah

dari pintu yang kuak setengah
ibu melambaikan tangan
sambil tertunduk memasrahkan biji-biji
air mata pada lantai
air mata itulah yang tumbuh jadi laut
seluruh pantainya adalah muara
suatu waktu, ayahmu kembali
dibawa oleh sungai
aku akan menerimanya meski
telah menjadi daun kering
atau sampah
atau apa pun,
katanya padaku
aku berenang berhari-hari
tetapi laut itu sungguh luas
dan setiap pulau yang kudatangi
tak menyimpan tubuh ayahku
aku juga memanjat punggung-punggung gunung
tetapi setiap tangga menuju arah yang salah
ibu tetap menunggu di atas doa-doa
dan uban-ubannya rontok satu-satu
menjadi kayu bakar
yang memanaskan tungku tanah liat
agar kami tetap kuat

मेंगेनंग ayah

Dini hari tadi ketika kabut masih bergelayut di ujung-ujung daun kopi, di dahan-dahan cengkeh, di pucuk-pucuk pohon duren, Ayah akhirnya berhasil menyelesaikan hembusan nafasnya yang penghabisan. Ayah pergi dengan sangat tenang, meninggalkan dua istri (satu sudah meninggal), sepuluh anak, lima cucu.
Ledakan tangis ibuku, istri kedua Ayah, menggetar dalam gubug, lalu keluar menerobos kabut, lalu berhinggapan di dahan-dahan cengkeh, di rerimbun daun kopi, di pucuk-pucuk pohon duren. Seperti layaknya meratapi orang meninggal, Ibu mengguncang-guncang tubuh Ayah, mengurapi dada kurus Ayah dengan air matanya, sambil secara dramatis menyerukan kata-kata cengeng: “Jangan tinggalkan aku! Ajak aku ikut bersamamu!” Saat itu aku baru tahu, ternyata Ibu sangat mencintai Ayah. Lihatlah, air mukanya penuh diliputi kesedihan ditinggal pergi suami ke tempat yang sebenarnya juga akan menjadi tujuan kita bersama.
Aku hanya mampu termangu di sudut gubug. Sambil tanganku mengelus-elus dagu yang tak berjenggot, dengan sabar kutunggui Ibu yang sedang menikmati ratapannya. Mataku masih belum percaya melihat tubuh Ayah. Kebahagiaan macam apa yang telah melingkupi dirinya? Tubuhnya masih hangat, meski nyawanya telah pergi, entah ke mana. Mungkin nyawanya sedang menyelinap di cecabang pohon-pohon kopi. Atau bisa jadi masih berputar-putar di bilik gubug, bingung memperhatikan istrinya menangis atau merasa aneh melihat anaknya bengong seperti orang bego. Atau bisa jadi nyawanya sedang menari-nari gembira bermain kabut di halaman gubug. Sebab merasa telah merdeka, bebas dari kesengsaraan tubuh, dari sakit yang berbulan-bulan dideritanya, dari kemiskinan yang meletihkan, dari berbagai sakit hati yang pernah menggumpal dan menghuni hatinya.
Sesungguhnya aku merasa sangat gembira Ayah meninggal. Malah aku merasa harus memarahi Ibu karena menangis dan meratap-ratap seperti orang sinting saja. Kegembiraanku ini bukan karena aku merasa terbebas dari tugas merawat Ayah. Aku ikut gembira sebab Ayah telah terbebas dari sakit yang dideritanya.
Aku tidak mampu menyembunyikan rasa takjubku melihat wajah Ayah yang begitu damai. Bibirnya yang kisut menyunggingkan sebuah senyum. Senyum kemenangan. Matanya tidak terbelalak, melainkan terkatup seperti bayi yang tidur lelap. Berkali-kali aku bergumam sendiri, kebahagiaan macam apa yang sedang dirasakan Ayah? Belum pernah seumur hidupku, aku melihat wajah Ayah sedamai ini. Pemandangan menakjubkan inilah yang membuat aku termangu di keremangan sudut gubug. Aku tidak sanggup menangis, apalagi berkata-kata. Kalaupun aku menangis, itu pasti bukan karena kesedihan, melainkan kebahagiaan.

***
Dini hari merangkak menuju pagi. Angin menghembuskan hawa dingin pegunungan. Udara dingin ini membuatku terus terjaga, meski rasa kantuk menyerang begitu rupa. Hampir setiap malam aku mendapat tugas melayani dan menjaga Ayah yang hanya terbaring lemah di bale-bale bambu. Aku harus rela waktu tidurku menjadi sangat berkurang sejak Ayah menderita sakit yang parah. Ada bekas jejak kelabu di bawah kelopak mataku. Jejak yang mampu menggambarkan betapa letihnya aku.
Ibu masih menangis, meski sekarang hanya isak-isaknya saja yang kedengaran. Anggota keluarga lain belum tahu Ayah telah meninggal. Mereka tinggal terpencar. Keluarga yang paling dekat tinggal terpisah dua petak kebun kopi dari gubug. Yang paling jauh tinggal di kota kecamatan, sekitar tiga puluh kilometer dari desa.
Selama Ayah sakit yang menyebabkan separuh tubuhnya lumpuh, hanya beberapa kali saja saudara-saudaraku ikut sibuk membantu menjaga dan merawat Ayah. Boleh dibilang hanya Ibu dan aku yang masih setia merawat Ayah sampai pada hembusan nafasnya yang penghabisan. Aku maklum, anggota keluarga lain sudah tidak tahan melihat penderitaan Ayah. Mereka lebih memilih menghindar dari kenyataan pahit bahwa Ayah menderita lumpuh dan harus dilayani seperti melayani bayi.
Aku dan Ibu bergiliran merawat Ayah. Saat Ibu menjaga Ayah, aku mendapat tugas mengurus kebun kopi yang tidak seberapa luas yang terletak di dekat gubug. Begitu pula sebaliknya. Ketika kami harus sama-sama sibuk di kebun, Ayah terpaksa sendirian menghadapi penderitaannya. Terkadang aku merasa terbiasa dengan erangan, rintihan dan keluhan Ayah. Bahkan tanpa kusadari suara-suara penuh kepedihan itu telah menjelma semacam hiburan dalam hatiku. Namun, pada saat-saat tertentu suka juga aku berdoa dalam hati agar dewa maut segera mencabut nyawa Ayah. Agar Ayah segera terbebas dari segala beban deritanya.
Pada minggu-minggu pertama Ayah sakit, sebenarnya aku juga merasa sangat sedih. Tapi kami sudah berusaha semampu kami untuk mengobati Ayah. Tentu kami lebih banyak mengajak Ayah ke dukun ketimbang dokter. Dari mana kami mendapatkan uang banyak untuk biaya dokter dan obat yang tidak murah? Bahkan jika pun kebun warisan keluarga dijual, tetap saja ongkos untuk perawatan Ayah masih kurang. Apalagi hanya mengharapkan penjualan hasil kebun yang selalu dibeli murah oleh para tengkulak yang banyak bertebaran di desa pegunungan ini.
Aku hanya pernah sekali membawa Ayah ke dokter umum di kota kecamatan. Saat itu dokter hanya memberi Ayah beberapa butir pil sambil mengatakan padaku bahwa Ayah baik-baik saja, perlu istirahat, jangan terlalu banyak pikiran, dan bla..bla..bla. Ketika bicara begitu aku merasa wajah dokter memancarkan kecemasan. Aku tidak mengerti dan tidak bertanya lebih lanjut sebab-sebab penyakit Ayah. Aku juga tidak tahu apa yang dipikirkan dokter saat itu. Lagi pula apa untungnya bagi dokter memikirkan penyakit orang gunung seperti Ayah? Belakangan aku tahu dari seorang kawan yang tinggal di kota kecamatan bahwa Ayah terserang stroke, suatu penyakit yang akan membahayakan keselamatan Ayah. Aku hanya manggut-manggut mencoba memahami penjelasan kawanku itu.
Membawa Ayah ke dukun tentu lebih murah mengingat keuangan kami yang terbatas. Hampir semua dukun yang ada di pegunungan ini pernah kami kunjungi atau kami undang ke gubug untuk mengobati Ayah. Seorang dukun yang diyakini warga paling sakti yang kami undang ke gubug kesurupan dan berteriak-teriak tidak jelas. Setelah sadar dari kesurupannya, dukun itu mengatakan bahwa Ayah diserang oleh musuh-musuhnya (seingatku Ayah tidak memiliki musuh) dengan ilmu hitam yang sangat kejam yang menyebabkan separuh tubuh Ayah lumpuh. Untuk itu Ayah harus menjalani ruwatan dengan menggunakan tujuh mata air suci yang ada di pegunungan ini.
Kami pun menuruti saran dukun. Untuk itu aku harus rela bekerja keras mengambil masing-masing satu jerigen air dari tujuh sumber air suci tersebut. Kalau aku membawa langsung Ayah ke masing-masing sumber air suci itu tentu tidak mungkin. Sudah kukatakan, separuh tubuh Ayah lumpuh. Jangankan berjalan, buang kotoran, kencing, mandi dan makan saja harus dibantu, dan seringkali terpaksa dilakukan Ayah di bale-bale.
Tak perlu kuceritakan di sini bagaimana letih dan panjangnya perjuanganku mendapatkan tujuh sumber air suci itu. Ceritaku yang tak berguna itu hanya akan mengurangi pahalaku nantinya.
Begitulah, setelah memandikan Ayah dengan air suci, keajaiban pun terjadi. Ayah menjadi lebih sehat dan segar, meski tubuhnya tetap kurus dan kisut. Namun beberapa hari kemudian Ayah kembali mengeluh tubuhnya tidak bisa digerakkan. Aku pun kembali mengundang dukun itu datang ke gubug. Sambil geleng-geleng kepala dukun sakti itu mengatakan bahwa musuh Ayah sangat hebat sehingga mampu memusnahkan mukjizat tujuh sumber air suci. Dukun itu tidak mampu berbuat apa lagi. Ia pulang sambil geleng-geleng kepala dan bergumam tidak jelas. Kami hanya bisa terpana.
Habis sudah harapan kami. Maka sejak itu, erangan, rintihan dan keluhan Ayah menjadi semacam hiburan bagiku. Maklum di gubug tidak ada hiburan lain, seperti televisi atau radio. Suara erangan, rintihan dan keluhan Ayah sesekali bercampur-baur dengan cericit tikus, suara tokek dan cicak, nyanyian burung-burung hutan, lolong anjing, dan berbagai suara serangga hutan. Gabungan suara-suara itu menjadi nyanyian tersendiri bagiku. Begitu pedih sekaligus menghibur. Namun anehnya, Ibu hanya mampu menangis bila mendengar keluhan-keluhan Ayah. Aku heran, apa Ibu tidak bisa menikmati hiburan itu?
Ketika Ayah meninggal, aku jelas merasa kehilangan. Aku sedih kehilangan hiburan dari suara-suara yang diperdengarkan Ayah, erangan dan rintihan penuh derita yang bercampur-baur dengan suara hewan-hewan di sekitar gubug. Kelak aku akan merindukan hiburan aneh itu.
***
Matahari muncul dengan senyumnya yang sumringah. Kabut perlahan menjauh. Langit mulai hangat dan terang. Aku segera bergegas keluar gubug, pergi ke gubug keluarga terdekat, mengabari ayah telah mati. Mereka terkejut. Atau pura-pura terkejut? Atau hanya basa-basi saja untuk menunjukkan kesedihannya?
Setelah mencuci muka, buang hajat, dan sarapan ala kadarnya, mereka berbondong-bondong datang ke gubug. Karena gubug kami kecil dan tidak muat untuk menampung seluruh kerabat, maka mereka bergiliran menjenguk Ayah ke dalam gubug. Secara bergiliran pula mereka menangis dan meratap-ratap di dalam gubug, di depan tubuh Ayah yang telah dingin. Tentu saja dikomandoi oleh Ibu. Perempuan paruh baya itu selalu saja mendahului menangis menjerit-jerit dan meratap-ratap sehingga bagai kawanan bebek kerabat yang lain ikut menangis dan meratap. Bahkan untuk mempermanis suasana ada saja diantara mereka yang tiba-tiba meraung atau menjerit sambil memukul-mukul dada sendiri.
Aku keluar dari gubug dan berlari menuju kebun kopi. Di tengah kebun aku tidak dapat lagi menahan tawa. Ketawaku yang paling ngakak, yang paling riang, yang paling konyol seumur hidupku lepas berderai. Bahkan aku merasa beberapa bulir air mata menetes membasahi pipi. Bukan karena aku sedih. Tapi aku tidak kuat menahan ketawa menyaksikan tontonan paling lucu yang sedang berlangsung di dalam gubug.
Kerabat lain yang masih menunggu giliran di luar gubug mendengar ketawaku yang ngakak. Mereka bergegas menuju kebun kopi dan secara paksa menyeretku kembali ke gubug. Mungkin mereka mengira aku gila, tertekan oleh kesedihan yang sangat parah sehingga aku tidak mampu lagi menangis, melainkan ketawa ngakak.
Aku meronta, mencoba melepaskan diri dari pegangan dua kerabat berbadan gempal. Mereka bertambah yakin kalau aku benar-benar telah menjadi gila karena kesedihan yang parah. Dengan sekuat tenaga mereka kemudian mengikatku di batang pohon jambu di belakang gubug. Mulutku disumpal dengan kain bekas sobekan baju. Mereka takut ketawaku akan menyinggung perasaan para kerabat yang sedang menikmati kesedihan dan irama tangisannya.
Aku terus meronta-ronta. Mereka tidak melepaskan ikatan. Malah menambahkan tali agar ikatannya lebih kuat, agar aku tidak lepas dan mengganggu kerabat lain. Kemudian mereka menjenguk ke dalam gubug. Secara bergiliran menangis, menjerit, meratap, memukul-mukul dada sendiri, meraung sambil menggoyang-goyangkan tubuh ayah yang mulai kaku. Di pagi hari yang cerah itu, burung-burung berkicau merdu, anjing menyalak dengan irama indah. Meski mulutku disumpal, namun kupingku dengan nyaman menikmati hiburan itu.
Akhirnya karena capek meronta, aku tertidur pulas dengan kedua tangan masih terikat di batang pohon jambu. Aku sangat letih karena semalaman begadang, merawat dan menjaga Ayah

Rabu, 16 Juni 2010

UNTUKMU DY………

CREATED BY: R•π•ñ•∆

Aku akan menangis ketika kau akan pergi , dan aku akan tersenyum menyapamu ketika kau datang kembali lagi padaku. Aku sadar kalau di dunia ini tidak ada sesuatu yang kekal tapi aku yakin kalau cinta sejati akan mengalahkan segalanya.

Sebenernya aku tidak berharap banyak padamu, aku hanya ingin kau slalu mengingatku dalam hatimu, kapanpun bagaimanapun dan dimanapun itu.
Aku ingin bilang padamu kalau aku ini tidak pantas untukmu, aku ini orang yang egois dan cengeng, aku bukanlah orang yang kau harapkan. Dan aku sadar dengan kelancanganku itu, tak seharusnya aku ada di sampingmu, kau terlalu baik untukku.

Sudah satu setengah tahun kita lewati bersama, aku tidak akan melupakan semuanya Dy…..sejak pertama kali aku mengenalmu aku yakin dan percaya kalau kalau kau adalah laki-laki yang baik wlaupun terkadang kau tidak serius padaku. Laki-laki sepertimu lah yang aku banggakan di didunia ini. Dy……….namamu selalu terkenang di hatiku yang terdalam, aku sadar dan tahu kalau jodoh adalah kehendak Tuhan, mungkinkah kita akan bersama selamanya?
Kau adalah yang nama pertama yang tertulis di absen hatiku, kau slalu hadir ketika mataku mulai terbuka, aku akan merasa takut menutup mata karena aku takut ketika kemudian aku membukanya kembali kau akan sirna dari tatapan mataku. Aku tidak rela kalau tidak kau bersamaku lagi.

Dy….hanya kau yang paling mengerti dengan diriku, aku berharap Tuhan masih mengizinkanku untuk bersamamu lebih lama lagi. Kau bisa menjadi orang tuaku, kakakku, sahabatku, skaligus bisa menjadi teman hidupku, kau begitu sempurna dimataku.
Kau mendukung apapun keputusanku dan kau selalu mnegur kesalahanku, terkadang aku selalu menganggapmu cerewet.

Ku takut sewaktu-waktu Tuhan mencabut nyawaku dan aku tidak bisa lagi melihat senyummu itu. Kalau hal itu terjadi aku hanya ingin kau melakukan sesuatu untukku, jagalah adikku, keluaragaku, berilah semangat kedua orang tuaku dan janganlah bersedih carilah penggantiku………….

Aku akan selalu mengingat hari-hari terindah yang pernah kita lewati bersama dan aku juga akan mengingat semua kebaikanmu pada diriku yang angkuh ini……………………………….

THE END

28 JULI 2007

sajak untuk ayah

SAJAK UNTUK AYAH (bag 2)
Aku tak mampu mengantar kepergianmu
Langit mendung turut berduka
Orang-orang riuh rendah becerita
Tentang segala amal kebaikanmu
Aku datang kepadamu, ayah
Semilir di bawah kamboja dan nisanmu
Aku menangis dan berdoa
Mengenang segala salah dan dosaku kepadamu
Kepergianmu seketika mendewasakan aku
Mengajarkan aku betapa penting arti hidup
Untuk menjadi berguna bagi sesama
Kepergianmu mengajarku
Bagaimana harus mencintai dan menyayangi
Bagaimana harus tulus berkorban dan bersabar
Bagaimana harus berjuang demi anak-anaknya
Hingga saat terakhir hayatmu
Engkau terus berdoa demi kebahagiaan anak-anakmu
Hari ini aku menemuimu, ayah
Lewat sebait puisi untuk mengenangmu
Bila datang saatnya nanti
Kan kuceritakan segala kebesaran dan keagunganmu
Bersama embun fajar kemarau ku sertakan doa
Semoga engkau mendapatkan tempat terbaik di sisi-Nya
Ayah,
Aku merindukanmu

Rabu, 10 Maret 2010

ceritadibaliklembah

TIGAWASA, DESA BALI PURWA YANG EKSOTIK


Tigawasa adalah sebuah desa tua “Bali Aga”, tepatnya di Kecamatan Banjar Kabupaten Buleleng. Nama desa ini sangat erat hubungannya dengan kedatangan seorang Rsi bernama Rsi Markandeya ke Bali, yang konon membawa anak buahnya “wong Age” dari Gunumg Rawung. Menurut Lontar Markandeya Wong Age inilah yang menetap di Bali hingga sekarang, yang tersebar di daerah seluruh Bali, misalnya, Tigawasa sendiri, Cempaga, Sidetapa, Pedawa, Sembiran, Trunyan, Batur dan sebagainya.

ASAL KATA
Kata Tigawasa berasal dari dua versi, yaitu yang pertama berarti, Tiga Kuasa atau Tiga Tempat ( tempat yang dimaksud adalah: Munduk Taulan, Pememan dan Kayehan Sanghyang). Sedangkan arti kata yang kedua adalah, Tiga Was atau tiga kali pergi ( maksudnya adalah tiga kali pergi untuk membuat desa, tempat yang pertama adalah di Sanda, kedua Pangus dan yang terakhir tempat dimana saat ini merupakan pusat desa.
BATAS WILAYAH
Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Kayu Putih Melaka
Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Pedawa
Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Cempaga
Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Kaliasem dan Temukus.

KEBUDAYAAN
Bahasa
Bahasa yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat di daerah Tigawasa adalah bahasa pedalaman yaitu bahasa yang sudah ada sejak wong Age sendiri masuk ke daerah Bali. Bahasa ini disebut bahasa Tigawasa dimana vokal bahasanya kebanyakan memakai vokal ‘a’, yang mirip dengan bahasa Jawi dan Melayu kuno. Misalnya saja dalam bahasa Indonesia,”mau kemana?”, dan dalam bahasa Tigawasa, “kal kejapa?”. Masih banyak lagi istilah-istilah dalam bahasa Tigawasa yang mungkin tidak bisa dimengerti oleh masyarakat Bali kebanyakan.



Pura
Menurut Kt. Sudaya yang merupakan sesepuh desa Tigawasa orang Bali Age tidak memiliki Pura Dalem, begitu juga dengan Desa Tigawasa. Desa Tigawasa hanya memiliki Pura Desa, Pura Segara dan pura Gedong Besakih yang merupakan pengayatan dari Pura Besakih. Kenapa tidak memiliki pura dalem? Karena sudah dirangkul dan dijadikan satu dengan Bale Agung atau Pura Desa, sehingga orang-orang yang suka dengan ilmu gelap akan musnah ketika menginjakkan kaki di desa Bali Purwa ini.
Kepercayaan
Masyarakat di desa Tigawasa percaya dengan adanya upacara “ngulapin”, tetapi upacara ini dilakukan di kamar suci dan bisa juga di tempat tidur. Istilah ngulapin ini dikenal dengan istilah” Ngidih Yeh Base”. Upacara ini diemong oleh Balian yang sudah terkenal mumpuni di bidangnya. Kepercayaan yang lainnya adalah saat penguburan mayat. Masyarakat desa mengenal suatu kepercayaan dimana, orang yang meninggal pada hari itu juga langsung dikubur dan harus dimandikan dengan air sembung, karena sekte yang masih dianut adalah sektu Sambu. Selain kepercayaan memandikan mayat dengan air sembung, masyarakat desa juga memiliki suatu kepercayaan dimana, mayat harus dinyanyikan dengan teriakan-teriakan yang menyayat hati, yang diistilahkan dengan istilah ”Ngelenjatang”, hal ini dimaksudkan untuk memisahkan badan halus dan kasar. Mayat yang dikubur tidak memakai peti tetapi langsung dibungkus dengan tikar dan hanya dibekali ”nasi bawang ajembung”.

Peninggalan
Peninggalan-peninggalan bersejarah yang dapat ditemui di desa Tigawasa adalah, diantaranya, Sarkofagus yang ditemui di ketiga tempat yang pernah di pakai berkuasa (tadi sudah disebutkan ketiga tempat tersebut adalah, Munduk Taulan, Pemaman dan Kayehan Sanghyang). Selain itu juga ditemukan semacam batu yang disebut Lingga Yoni, Gua Slonding dan sebuah Slonding.

Seni
Masyarakat desa Tigawasa mengenal seni anyaman bambu yang dikenal dengan istilah Sokasi atau Keben, ini merupakan mata pencaharian masyarakat terbesar di desa Tigawasa. Selain itu adalah seni membuat Bedeg atau di Tigawasa sering disebut dengan Sedang. Tetapi setelah zaman penjajahan Jepang, Jepang mengkolaborasi kebudayaan seninya dengan seni membuat bedeg Tigawasa, sehingga sampai saat ini bedeg hasil kolaborasi tersebut dikenal dengan “Bedeg Semeri”
























KEINDAHAN ALAM










Pemandangan laut yang dapat dilihat dari Dusun Konci, Desa Tigawasa


Kota Singaraja yang dapat dilihat dari Dusun Pangus Sari, Desa Tigawasa

Fenomena alam yang dapat dilihat ketika baru memasuki Desa Tigawasa


Hutan Bambu, yang digunakan sebagai bahan untuk membuat seni anyaman bambu.

Created by : Hervina Sanjayanti









Menelusuri Kehidupan Desa Bali Age
BULELENG memiliki banyak desa tua yang berderet di dataran tinggi Kecamatan Banjar dan Tejakula. Di Banjar terdapat Desa Sidatapa, Pedawa, Cempaga, Tigawasa dan Banyusri. Di Tejakula masih berdiri dengan unik Desa Sembiran, Julah dan desa lain yang masih berkaitan erat dengan desa-desa tua di Kabupaten Bangli.
Sebagai desa yang bernilai sejarah, tentu saja desa tua ini punya banyak tradisi budaya yang khas, yang patut dipertahankan, bukan semata-mata untuk kepentingan pariwisata, tetapi lebih jauh sebagai aset untuk menelusuri sejarah masa lalu. Masa lalu yang jadi cermin di masa depan. Begitulah yang dilakukan warga Desa Sidatapa --salah satu desa tua -- di Kecamatan Banjar.
Memasuki Desa Sidatapa di Kecamatan Banjar, Buleleng, rasanya seperti menyelinap ke dalam sebuah lukisan indah tentang kehidupan Bali masa lalu. Suasana hutan yang sejuk dan jalan setapak yang dikitari gugusan semak dan pepohonan besar senantiasa menawarkan suasana alam yang meski terkesan liar, namun memberi rasa teduh dan damai. Apalagi ketika masuk ke pemukiman, suasana kehidupan yang polos dan bersahaja tergambar dari gerak-gerik masyarakatnya yang sedikit dingin namun tingkahnya menunjukkan bahwa warga Sidatapa adalah sekelompok warga yang ramah, gampang bersahabat dan mudah diajak bicara.
Desa Sidatapa merupakan salah satu dari deretan desa kuno yang hingga kini masih tersisa di belahan Bali Utara. Orang menyebutnya Desa Bali Mula atau Bali Aga, sebuah desa yang sudah memiliki otonomi sosial-budaya sebelum Kerajaan Majapahit menancapkan kekuasaannya di Bali. Memang, tak begitu banyak bukti yang bisa menjelaskan secara rinci sejarah desa di ketinggian 500 meter dari atas permukaan laut itu.
Selain cerita sejarah yang dituturkan dari generasi ke generasi, satu bukti penting yang menjelaskan keberadaan desa kuno ini adalah rumah adat yang memang terkesan tua alias kuno. Namun, jika ingin melihat rumah kuno itu secara leluasa, tak cukup dengan hanya menelusuri jalan kecil pedesaan yang sejuk itu. Selain langka, rumah tua itu tidak dibangun menghadap ke jalan sebagaimana rumah modern saat ini. Rumah khas itu dibangun membelakangi jalan sehingga keberadaan cukup tersembunyi.
Banyak cerita unik bisa digambarkan dari keberadaan rumah tua itu yang tentu saja berhubungan erat dengan perjalanan sejarah Bali Kuno secara keseluruhan. Namanya juga rumah kuno, bahan bangunannya tentu sangat bergantung pada alam. Lantai dan temboknya dari tanah, atapnya daun kelapa, tiang, jendela dan perangkat lainnya dibuat dari bambu batangan atau anyaman bambu.

Yang unik, seluruh bagian ruang rumah tua ini ternyata merangkum semua kehidupan sosial, ekonomi, spiritual, budaya dan keamanan, dari masing-masing keluarga di desa tersebut. Artinya, seluruh kegiatan keluarga dilakukan dalam satu rumah yang memang cukup luas. Jika di Padang, Sumatera Barat, rumah adatnya bernama Rumah Gadang, rumah di Sidatapa juga punya sebutan bagus. I Wayan Ariawan, seorang tokoh muda Sidatapa yang memiliki minat besar untuk melestarikan rumah peninggalan leluhurnya itu, mengatakan bangunan kuno di Sidatapa itu bernama Bale Gajah Tumpang Salu. Bale berarti rumah, gajah menunjukkan simbol dari bangunan yang bertiang empat dalam setiap bagiannya, tumpang berarti tingkat dan salu bermakna tiga. Lengkapnya bisa disebut sebagai rumah besar yang terdiri atas tiga bagian.
Tiga bagian rumah ini memiliki fungsi sosial, ekonomi, spiritual dan budaya yang menjadi satu-kesatuan yang utuh dan saling berhubungan. Bagian utama (utamaning mandala), bagian tengah (madyaning mandala) dan sisi luar (nistaning mandala). Bagian utama dijadikan tempat persembahyangan, tidur, makan, serta tempat menyimpan alat-alat upacara, busana adat, pusaka, emas dan kekayaan lainnya. Bagian tengah digunakan untuk melakukan kegiatan sehari-hari, seperti memasak dan melakukan upacara adat dan upacara keagamaan. Nista mandala adalah daerah luar, lokasi khusus sebagai tempat menerima tamu. Jadi, sejumlah warga mengatakan, rumah tua itu bisa dianggap sebagai pura atau merajan sekaligus sebagai tempat tinggal.
Kenapa rumah ini dibangun membelakangi jalan? Kisahnya bisa dimulai dari penyerangan pasukan Majapahit ke Bali beratus-ratus tahun lalu. Sejumlah tokoh warga menceritakan, setelah terjadi penyerangan dari pasukan Majapahit, warga Bali Aga itu mengalami semacam trauma. Ada semacam ketakutan sehingga berupaya menyembunyikan diri dan segala aktivitasnya dengan membuat rumah menghadap ke hilir atau ke belakang.
Selain di Sidatapa, rumah tua juga terdapat di Desa Pedawa yang juga termasuk deretan desa tua di Buleleng. Sayangnya, hingga kini, hanya beberapa saja bangunan bersejarah itu masih berdiri di Sidatapa. Rumah yang berumur ratusan tahun memang harus mengalami perbaikan baru. Kalau tidak, memang harus direlakan untuk rubuh.
Lain halnya lagi dengan desa tetangganya yakni desa Tigawasa, salah satu deretan desa tua ini, memiliki tradisi yang khas yakni pada saat penguburan mayat. Di desa penghasil kerajinan anyaman bamboo ini, tidak mengenal istilah pembakaran mayat. Memang ada upacara ngaben, tetapi tidak di bakar melainkan di kubur. Konon katanya di desa ini menganut kepercayaan dewa Swambu. Acara penguburan mayatnya pun cukup unik, karena mayat tidak di taruh di dalam peti, melainkan hanya dibungkus dengan kain batik, dan di kubur begitu saja. Dan tradisi ini berlangsung secara turun temurun. Semoga tradisi ini tetap dilestarikan, sehingga nama “Bali Age” tetap menjadi icon masyarakat Bali. (HERVINA_PHYSICS)


KEBUDAYAAN ORANG BALI AGA DI DESA TIGAWASA DALAM MEMBUAT ANYAMAN BAMBU BERPOLA
“BEDEG SEMERI”
Oleh:
Ni Putu Ayu Hervina Sanjayanti (013021013)
Jurusan Pendidikan Fisika, Fakultas MIPA
Universitas Pendidikan Ganesha


ABSTRAK
Orang Bali Age tinggal di wilayah pedalaman yang berbukit-bukit. Secara ekologis, mereka sangat tergantung pada alam dan sumber daya hutan serta sistem kebudayaannya pun berbeda dengan orang bali pada umumnya. Orang Bali Aga pada umumnya memiliki beraneka ragam kebudayaan yang sangat unik. Beberapa diantaranya yang termasuk desa bali Age adalah Pedawa, Sidetapa, Cempaga, Tigawasa, Sembiran, Trunyan, Tenganan dan sebagainya, tetapi yang banyak dikaji adalah desa Tigawasa yang terkenal dengan kerajinan anyaman bambunya. Desa ini terletak di Kecamatan Banjar Kabupaten Buleleng.
Disamping letaknya yang sangat setrategis yaitu dilereng perbukitan sehingga panoramanya indah tapi warga Tigawasa sangat kreatif didalam kerajinan anyaman bambu, seperti “bedeg (sedang)” dan “sokasi (keben)”. Bedeg yang dikaji disini adalah bedeg dengan pola “ Bedeg Semeri” Beberapa hal yang menarik dapat dirasakan ketika membaca keseluruhan dari artikel ini, karena kerajinan anyaman bambu yang asli hanya bisa dilihat di Desa Tigawasa.

Kata kunci: Bali Age, Tigawasa, pola bedeg semeri, bedeg, sokasi

PENDAHULUAN
Tigawasa adalah sebuah desa tua “Bali Aga”, tepatnya di Kecamatan Banjar Kabupaten Buleleng. Nama desa ini sangat erat hubungannya dengan kedatangan seorang Rsi bernama Rsi Markandeya ke Bali, yang konon membawa anak buahnya “wong Age” dari Gunumg Rawung. Menurut Lontar Markandeya Wong Age inilah yang menetap di Bali hingga sekarang, yang tersebar di daerah seluruh Bali, misalnya, Tigawasa sendiri, Cempaga, Sidetapa, Pedawa, Sembiran, Trunyan, Batur dan sebagainya.
Tujuan dari penulisan artikel yang membahas tentang budaya ini, tidak lain untuk mengenalkan kepada masyarakat luas, bagaimana sebenarnya kebudayaan purwa di Bali pada umumnya dan Buleleng khususnya.

Kajian Historis
Asal nama
Menurut Ketut Sudaya yang merupakan sesepuh orang Tigawasa, kata Tigawasa berasal dari dua versi, yaitu yang pertama berarti, Tiga Kuasa atau Tiga Tempat (tempat yang dimaksud adalah: Munduk Taulan, Pememan dan Kayehan Sanghyang). Sedangkan arti kata yang kedua adalah, Tiga Was atau tiga kali pergi (maksudnya adalah tiga kali pergi untuk membuat desa, tempat yang pertama adalah di Sanda, kedua Pangus dan yang terakhir tempat dimana saat ini merupakan pusat desa).

Bahasa
Bahasa yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat di daerah Tigawasa adalah bahasa pedalaman yaitu bahasa yang sudah ada sejak wong Age sendiri masuk ke daerah Bali. Bahasa ini disebut bahasa Tigawasa dimana vokal bahasanya kebanyakan memakai vokal ‘a’, yang mirip dengan bahasa Jawi dan Melayu kuno. Misalnya saja dalam bahasa Indonesia,”mau kemana?”, dan dalam bahasa Tigawasa, “kal kejapa?”. Masih banyak lagi istilah-istilah dalam bahasa Tigawasa yang mungkin tidak bisa dimengerti oleh masyarakat Bali kebanyakan.

Kepercayaan
Masyarakat di desa Tigawasa percaya dengan adanya upacara “ngulapin”, tetapi upacara ini dilakukan di kamar suci. Istilah ngulapin ini dikenal dengan istilah ”Ngidih Yeh Base”. Upacara ini diemong oleh Balian atau pemangku yang sudah terkenal mumpuni di bidangnya. Kepercayaan yang lainnya adalah saat penguburan mayat. Masyarakat desa mengenal suatu kepercayaan dimana, orang yang meninggal pada hari itu juga langsung dikubur dan harus dimandikan dengan air sembung, karena sekte yang masih dianut adalah sektu Sambu. Selain kepercayaan memandikan mayat dengan air sembung, masyarakat desa juga memiliki suatu kepercayaan dimana, mayat harus dinyanyikan dengan teriakan-teriakan yang menyayat hati, yang diistilahkan dengan istilah ”Ngelenjatang”, hal ini dimaksudkan untuk memisahkan badan halus dan kasar. Mayat tidak ditaruh di dalam peti tetapi langsung dibungkus dengan tikar dan hanya dibekali ”nasi bawang ajembung”.

Peninggalan
Peninggalan-peninggalan bersejarah yang dapat ditemui di desa Tigawasa adalah, diantaranya, Sarkofagus yang ditemui di ketiga tempat yang pernah di pakai berkuasa (tadi sudah disebutkan ketiga tempat tersebut adalah, Munduk Taulan, Pemaman dan Kayehan Sanghyang). Selain itu juga ditemukan semacam batu yang disebut Lingga Yoni, Gua Slonding dan sebuah Slonding.

Seni dan Budaya
Masyarakat desa Tigawasa mengenal seni anyaman bambu yang dikenal dengan istilah Sokasi atau Keben, ini merupakan mata pencaharian masyarakat terbesar di desa Tigawasa. Selain itu adalah seni membuat Bedeg atau di Tigawasa sering disebut dengan Sedang. Tetapi setelah zaman penjajahan Jepang, Jepang mengkolaborasi kebudayaan seninya dengan seni membuat bedeg Tigawasa, sehingga sampai saat ini bedeg hasil kolaborasi tersebut dikenal dengan “Bedeg Semeri”. Selengkapnya akan lebih dijelaskan pada pembahasan.
METODE PENULISAN

Penulisan Karya Tulis ini menggunakan metode Wawancara dan Kajian Pustaka. Pada metode Wawancara dilakukan dengan mewawancarai beberapa warga desa sebagai narasumber, dan pada metode Kajian pustaka dilakukan dengan menggunakan referensi buku yang relevan serta tidak lupa penulis mencari informasi dari internet.


PEMBAHASAN
Sebagai desa yang bernilai sejarah, tentu saja desa tua ini punya banyak tradisi budaya yang khas, yang patut dipertahankan, bukan semata-mata untuk kepentingan pariwisata, tetapi lebih jauh sebagai aset untuk menelusuri sejarah masa lalu. Masa lalu yang jadi cermin di masa depan.
Dari uraian di atas yang akan lebih banyak dibahas adalah tentang anyaman bambu dengan pola bedeg semeri. Anyaman bambu yang paling terkenal di daerah Tigawasa adalah Bedeg atau bahasa Tigawasanya “sedang” dan Sokasi atau keben dalam bahasa Tigawasa. Bedeg merupakan suatu anyaman bambu yang dapat dimanfaatkan sebagai dinding rumah bagian atas atau lebih dikenal dengan sebutan “tukuban”, sedangkan sokasi merupakan anyaman bambu yang dimanfaatkan sebagai tempat nasi (sokasi putih) ataupun sebagai tempat menaruh banten saat ada upacara keagamaan (sokasi berwarna). Hasil anyaman bambu tersebut merupakan salah satu mata pencaharian utama masyarakat Tigawasa setelah berkebun. Oleh karena itu di daerah Tigawasa banyak terdapat hutan bambu yang bisa dilihat pada gambar yang sudah terlampir.
Sebagai salah satu mata pencaharian yang utama, anyaman bambu sangat digemari berbagai kalangan. Sampai-sampai anak yang baru berumur 5 tahun sudah mulali diajarkan untuk membuat anyaman bambu berupa sokasi oleh ibu mereka. Menurut I Nyoman Oka yang merupakan seorang pengerajin anyaman bambu di desa Tigawasa mengatakan bahwa anyaman bambu yang dibuat oleh penduduk setempat memakai dua pola, yatu pola biasa dan pola bedeg semeri. Yang kebetulan merupakan kajian utama dalam artikel ini.
Sudah dijelaskan sebelumnya bahwa pola bedeg semeri ini merupakan perpaduan antara budaya jepang dengan kebudayaan Tigawasa sendiri, sehingga kebudayaan bedeg Tigawasa ini dikenal oleh penduduk jepang. Cara pembuatan bedeg semeri ini bisa dibilang gampang susah, karena bagi orang yang sudah menggelutinya mungkin akan terbilang mudah, tetapi bagi yang sama sekali tidak tahu apa itu bedeg maka akan dibilang sulit. Sebagai pengerajin yang sudah profesional I Nyoman Oka dengan gamblang mengatakan kalau membuat bedeg sangat mudah dan mtidak memerlukan biaya, dimulai dari mencari alat dan bahan di kebun belakang rumahnya dan memotong bambu serta menipiskan potongan bambu tersebut, sampai menganyamnya. Dia mengaku kalau pekerjaan itu dia lakukan sendiri dan belajar dari almarhum ayahnya yang sudah mewariskan tradisi membuat anyaman bambu bedeg semeri.
Lain halnya dengan Ni Kadek Rides yang merupakan pengerajin sokasi atau keben. Dia mengaku merasa senang sebagai pengerajin sokasi, selain mendapatkan mata pencaharian, dia juga bisa banyak bertemu dan bersosialisasai dengan orang disekitarnya, karena dia bisa membuat anyaman sokasi bersama dengan ibu-ibu lainnya. Ni Kadek Rides sering membuat sokasi dengan pola semeri pula, karena lebih menarik dan penuh tantangan dalam membutnya, karena membuat sokasi yang biasa katanya sudah biasa dan dia ingin membuat yang lebih sulit, yakni yang berpola bedeg semeri. Anyaman sokasi yang berpola semeri ini lebih mengutamakan keunikan anyaman karena dibuat berwarna dan bisa diisi nama atau tulisan pada bagian depannya. Hal itu bisa dilihat pada gambar yang sudah terlampir. Mungkin bagi orang-orang yang tidak mengerti akan berpikir kalau sokasi yang sudah jadi yang diwarna, tetapi tidak seperti itu, melainkan bambu yang masih utuhlah yang dicat kemudian baru dipotong kecil-kecil dan dianyam sesuai keperluan dan selera pemesan. Selain memiliki warna yang menarik, anyaman sokasi berpola semeri ini juga memiliki kekhasan yaitu pada bagian depan sokasi bisa ditambahkan tulisan atau nama si pemilik sokasi, seperti yang tampak pada gambar.
Lain lagi dengan I Made Suarjaya, warga Banjar Dauh Pura, Desa Tigawasa, termasuk salah satu perajin anyaman yang sehari-hari mengandalkan hidup dari menganyam bambu. Hasil menganyam tak saja bisa membiayai keperluan rumah tangganya sehari-hari, namun juga bisa diandalkan untuk membiayai pendidikan tiga orang anaknya. "Dulu, bapak saya juga membiayai sekolah saya dari hasil menganyam, kini saya yang membiayani sekolah anak-anak dengan hasil menganyam," kata Suarjaya.
Pembuatan anyaman bambu berpola bedeg semeri ini lebih banyak digemari oleh pencinta barang kerajinan seni dibandingkan dengan anyaman berpola biasa. Hal inilah yang akan memberikan peluang kerja bagi penduduk Tigawasa. Oleh karena itu, kelian adat dan kepala desa Tigawasa sudah melaksanakan suatu program pelatihan menganyam kepada masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas anyaman bambu di Tigawasa sendiri. Sampai saat ini program tersebut masih berjalan. semoga anyaman bambu berpola bedeg semeri ini tetap eksis dan jauh dari kepunahan.

SIMPULAN
Desa Tigawasa merupakan salah satu desa Bali Age yang terkenal dengan anyaman bambunya. Anyaman bambu yang terkenal di daerah Tigawasa adalah anyaman bambu yang berpola bedeg semeri berupa bedeg dan sokasi, dimana pola ini merupakan kolaborasi antara kebudayaan jepang dengan Tigawasa sendiri. Selain sebagai barang kerajinan yang dilestarikan, anyaman bambu berpola bedeg semeri ini merupakan salah satu mata pencaharian penduduk Tigawasa.

DAFTAR PUSTAKA
Situmorang, Sitor. 2001. The Rites of the Bali Aga. Metafor Publising. Sumatra Barat.

http://babadbali.blogspot.com/2007/12/terbitan-pertamalembaga-babad-bali.htmlsir.twotech.

Debroy, Bibek & Debroy, Divali. 2001. Markandeya Purana. Paramitha. Surabaya














Daftar Isi

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN................................. 1

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Ilmu Leak
 Apa itu leak?......................................... 3
 Kenapa Harus Di Kuburan?..................... 9
 Proses Ngeleak………………………………… 10
2.2 Tanggapan Masyarakat Global tentang Leak
 Pengertian masyarakat dan Masyarakat modern. 13
 Beda penestian, pengiwa, dan leak………… 14
 Sangkepan Leak……………………………….. 16
 Perlukah leak dikomersilkan?.................... 17

BAB III PENUTUP
3.1 Simpulan 20
3.2 Saran 20

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN
HERVINA SUDAH PUNYA BLOG