Senin, 19 Desember 2011





Tugas Individu Psikologi Pendidikan PENERAPAN QUANTUM LEARNING DI PENDIDIKAN KESETARAAN NON FORMAL (Ditinjau dari Psikologis Warga Belajar)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemerintah sedang gencar-gencarnya melaksanakan program pendidikan dalam rangkan meningkatkan kualitas pendidikan itu sendiri. Hal ini dimaksudkan agar makin tumbuh kesadaran akan pentingnya pendidikan, baik itu pendidikan formal maupun non formal (pendidikan luar sekolah) mendorong masyarakat untuk terus berpartisipasi aktif di dalamnya. Bertitik tolak dari permasalahan yang dihadapi, pendidikan non formal berusaha mencari jawaban dengan menelusuri pola-pola pendidikan yang ada, seperti pesantren, dan pendidikan keagamaan lainnya yang keberadaannya sudah jauh sebelum Indonesia merdeka, bertahan hidup sampai sekarang dan dicintai, dihargai dan diminati serta berakar dalam masyarakat. Kelanggengan lembaga-lembaga tersebut karena tumbuh dan berkembang, dibiayai dan dikelola oleh dan untuk kepentingan masyarakat. Di sisi lain, masyarakat merasakan adanya kebermaknaan dari program-program belajar yang disajikan bagi kehidupannya, karena pendidikan yang diselenggarakan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi nyata masyarakat. Pendidikan nonformal lebih banyak berbicara dan berbuat dari segi realita hidup dan kehidupan masyarakat. Perhatiannya lebih terpusat pada usaha-usaha untuk membantu terwujudnya proses pembelajaran di masyarakat. Dalam konteks ini orientasi pendidikan nonformal lebih menekankan pada tujuan agar masyarakat memiliki kemampuan untuk menghadapi permasalahan di lingkungannya, kemudian mencari upaya yang tepat untuk memecahkannya sehingga masyarakat dapat memperbaiki hakikat dan harkat hidupnya. Pendidikan nonformal merupakan bagian dari relung-relung kehidupan masyarakat yang akan dicari dan diharapkan peransertanya dalam memajukan kehidupan di masyarakat, dengan memiliki trade mark tersendiri yang membedakan dari jalur pendidikan yang lain. Ada banyak alasan bagi kita untuk mempersoalkan bagaimana nasib pendidikan moral dan budi pekerti dikembangkan dan diajarkan kepada anak-anak kita di sekolah. Setiap bentuk anomali perilaku anak-anak di sekolah, baik dalam bentuk tawuran antar warga belajar, penyalahgunaan obat terlarang, penyimpangan perilaku seksual, hingga penistaan peran guru melalui facebook, misalnya, selalu disikapi dengan pendekatan serba formal, termasuk di antaranya usulan tentang perlunya membuat model kurikulum pengembangan pendidikan moral dan budi pekerti. Selain kurikulum, sepertinya tidak ada lagi cara lain untuk memperbaiki perilaku warga belajar menyimpang. Para penggiat dan pemikir pendidikan sejak lama gundah tentang suasana pendidikan yang berlangsung di sekolah. Menurut Baedowi (2010) Orang seperti Ivan Illich dan Paolo Freire bahkan mengkritik dengan pedas sekali bahwa sekolah telah menjadikan para warga belajar seperti robot karena kurangnya mereka dilatih untuk memberi respon kreatif. Lebih hebat lagi bahkan keduanya juga menuduh sekolah telah memasung kebebasan, kreativitas serta membunuh daya pikir anak. Sejak lama sistem sekolah lebih banyak menggunakan pendekatan kognitif, tetapi abai dalam menumbuhkan dan melatih aspek afektif dan psikomotorik warga belajar secara tajam. Kritik lain juga menyebutkan bahwa pendidikan dengan pola sekolah sama saja dengan industri yang bak sebuah mesin, memperlakukan anak-anak sebagai bahan baku yang siap dicetak menjadi orang yang hanya siap bekerja di pabrik. Karena lebih mementingkan aspek kognitif, sekolah sangat mendorong para warga belajar untuk menjadi manusia-manusia individualis yang lupa bahwa sesungguhnya mereka adalah makhluk sosial. Belajar seperti kompetisi untuk saling mengalahkan dan menyisihkan orang lain, sehingga menimbulkan banyak sekali labeling seperti murid pandai dan murid bodoh, kelas biasa dan kelas khusus, sekolah nasional dan sekolah internasional. Karena itu wajar jika orang seperti Ivan Illich dan Paulo Freire mengganggap bahwa proses pendidikan di sekolah tak ubahnya seperti ladang tempat di mana para guru membunuh dan menindas potensi kemanusiaan warga belajar-siswi mereka. Cerita dan fakta di atas menunjukkan bahwa keterikatan (engagement) secara psikologis atau emosional sesungguhnya musuh guru itu sendiri. Pada konteks pendidikan di sekolah, jangan-jangan lebih banyak guru yang memberi PR daripada yang memeluk dan mencium warga belajarnya di kelas. Jangan-jangan guru-guru kita memang benar seperti dugaan Paulo Freire, mengganggap warga belajar-siswi mereka sebagai tahanan (prisoners) atau pekerja (employees) yang harus selalu ditekan untuk belajar dan belajar, tetapi bukan mendidik. Di sinilah sesungguhnya pembeda antara pengajar dan pendidik. Dibutuhkan guru dengan tingkat kecerdasan emosional yang tinggi, karena ikatan emosional yang lebih akan menyebabkan hubungan guru-warga belajar menjadi lebih akrab, dinamis, dan mudah membuat mereka memahami sekaligus mematuhi aturan yang ada. Oleh karena itu, Quantum learning (QL) adalah model pembelajaran yang cocok diterapkan di pendidikan non formal, khususnya program kesetaraan paket C, yang notabene warga belajarnya memiliki psikologis yang beragam. QL ialah kiat, petunjuk, strategi, dan seluruh proses belajar yang dapat mempertajam pemahaman dan daya ingat, serta membuat belajar sebagai suatu proses yang menyenangkan dan bermanfaat. Beberapa teknik yang dikemukakan merupakan teknik meningkatkan kemampuan diri yang sudah populer dan umum digunakan. Namun Bobbi DePorter mengembangkan teknik-teknik yang sasaran akhirnya ditujukan untuk membantu para warga belajar menjadi responsif dan bergairah dalam menghadapi tantangan dan perubahan realitas (yang terkait dengan sifat jurnalisme). Oleh karena itu, pada makalah ini akan dibahas lebih jauh tentang pengertian dan langkah QL, apa itu pendidikan non formal, bagaimana psikologis warga belajar di pendidikan non formal, serta penerapan QL di pendidikan non formal. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut. 1. Apa yang dimaksud Quantum Learning? 2. Bagaimana langkah-langkah Quantum Learning? 3. Bagimana pembelajaran di pendidikan non formal? 4. Bagimana psikologis peserta didik pada pendidikan non formal? 5. Bagaimana penerapan Quantum Learning pada pendidikan non formal? 1.3 Tujuan Penulisan Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut. 1. Mengetahui Quantum Learning 2. Mendeskripsikan langkah-langkah Quantum Learning 3. Mendeskripsikan pembelajaran di pendidikan non formal 4. Menjelaskan Psikis Peserta Didik pada Pendidikan Non Formal 5. Menjelaskan penerapan Quantum Learning pada pendidikan non formal 1.4 Manfaat Penulisan Bagi Pembaca Agar dapat menambah pengetahuan di bidang pendidikan, khususnya penerapan pembelajaran di pendidikan non formal. Selain itu agar pembaca tidak memandang sebelah pihak tentang pendidikan non formal. Bagi Penulis Agar dapat menerapkan model pembelajaran QL di masyarakat, khususnya di pendidikan non formal. 1.5 Metode Penulisan Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah metode kajian pustaka yaitu mencari sumber dari referensi yang relevan seperti buku dan internet. Selain itu, metode yang digunakan adalah metode wawancara langsung dengan penyelenggara pendidikan non formal khususnya program kesetaraan paket C. BAB II PEMBAHASAN 2.1 Definisi Quantum Learning (Pembelajaran Quantum) Aliran psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya terhadap arah pengembangan teori dan praktik pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan semata (Wikipedia, 2011). Quantum Learning didasari oleh salah satu teori behavioristik (perilaku) yaitu teori belajar menurut Thorndike (Wikipedia, 2011). Selanjutnya (Slavin, 2008) menambahkan bahwa teori belajar menurut Thorndike menyatakan belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut pula dengan teori koneksionisme Quantum Learning (QL) dimulai di Super Cam, sebuah program percepatan berupa Quantum Learning yang ditawarkan learning forum yaitu sebuah perusahaan pendidikan internasional yang menekankan perkembangan keterampilan akademis dan keterampilan pribadi (DePorter & Hernacki, 2011). QL diciptakan berdasarkan teori pendidikan seperti accelerated learning (Lozanov), multiple intelligences (Gardner), neuro-linguistic-programming (Grinder dan Bandler), experiental learning (Hahn), socratic inquiry, cooperative learning (Johnson dan Johnson), dan element of effective instruction (Hunter). Tokoh utama di balik pembelajaran kuantum adalah Bobbi DePorter, seorang ibu rumah tangga yang kemudian terjun di bidang bisnis properti dan keuangan, dan setelah semua bisnisnya bangkrut, akhirnya DePorter menggeluti bidang pembelajaran. Dialah perintis, pencetus, dan pengembang utama pembelajaran kuantum. Semenjak tahun 1982, DePorter mematangkan dan mengembangkan gagasan pembelajaran kuantum di SuperCamp, sebuah lembaga pembelajaran yang terletak di Kirkwood Meadows, Negara Bagian California, Amerika Serikat. Menurut DePorter (2011) QL adalah seperangkat metode dan falsafah belajar yang terbukti efektif di sekolah dan bisnis untuk semua tipe orang dan segala usia. QL pertama kali digunakan di Supercamp. Di Supercamp ini menggabungkan rasa percaya diri, keterampilan belajar, dan keterampilan berkomunikasi dalam lingkungan yang menyenangkan. QL didefinisikan sebagai interaksi-interaksi yang mengubah energi menjadi cahaya. Semua kehidupan adalah energi. Rumus yang terkenal dalam fisika kuantum adalah massa kali kecepatan cahaya kuadrat sama dengan energi. Atau sudah biasa dikenal dengan E=mc². Tubuh kita secara materi di ibaratkan sebagai materi, sebagai pelajar tujuan kita adalah meraih sebanyak mungkin cahaya. Interaksi, hubungan, inspirasi agar menghasilkan energi cahaya penerapan QL dalam pembelajaran. Jadi QL merupakan suatu kiat, petunjuk, strategi dan seluruh proses belajar yang dapat mempertajam pemahaman daya ingat, serta belajar sebagai proses yang menyenangkan dan bermakana. 2.2 Langkah Quantum Learning Quantum Learning memiliki lima prinsip (DePorter, 2000) sebagai berikut. 1. Segalanya berbicara, maksudnya bahwa seluruh lingkungan kelas hendaknya dapat mengirim pesan tentang belajar. 2. Segalanya bertujuan, maksudnya semua yang terjadi dalam penggubahan pembelajaran harus mempunyai tujuan yang jelas dan terkontrol. 3. Pengalaman sebelum pemberian nama, maksudnya proses pembelajaran paling baik terjadi ketika warga belajar telah mengalami informasi sebelum mereka memperoleh nama untuk apa yang mereka pelajari. 4. Mengakui setiap usaha, maksudnya usaha yang telah dilakukan oleh warga belajar harus mendapat pengakuan dari guru dan warga belajar lainnya, agar menumbuhkan kepercayaan pada diri warga belajar yang telah berusaha dalam belajar. 5. Merayakan keberhasilan, maksudnya setiap usaha dan hasil dalam suatu pembelajaran selayaknya harus dirayakan dengan tujuan untuk meningkatkan asosiasi emosi positif dalam belajar. Pujian yang diberikan oleh guru digunakan untuk memperkuat perilaku yang diinginkan dan memberikan balikan kepada warga belajar atas apa yang mereka lakukan dengan baik. Selanjutnya DePorter mengembangkan langkah pembelajaran kuantum melalui istilah TANDUR yang mengandung makna : 1. Tumbuhkan, maksudnya minat warga belajar dalam belajar harus ditumbuhkan sehingga warga belajar menjadi termotivasi dalam belajar dan memahami Apa Manfaatnya Bagiku (AMBAK). AMBAK adalah motivasi yang didapat dari pemilihan secara mental antara manfaat dan akibat-akibat suatu keputusan (DePorter, 2000) 2. Alami, maksudnya dalam pembelajaran, warga belajar hendaknya diberikan pengalaman nyata yang dapat dimengerti oleh semua warga belajar. 3. Namai, maksudnya dalam pembelajaran sediakan kata kunci, konsep, model, rumus, strategi dan metode lainnya. 4. Demonstrasikan, maksudnya warga belajar hendaknya diberi kesempatan untuk menunjukkan kemampuannya. 5. Ulangi, maksudnya warga belajar harus diberi kesempatan mengulangi apa yang telah mereka pelajari sehingga warga belajar dapat menegaskan “Aku tahu bahwa aku memang tahu”. 6. Rayakan, maksudnya respon pengakuan untuk penyelesaian, partisipasi, dan pemerolehan keterampilan dan ilmu pengetahuan. DePorter menyatakan QL memiliki asas utama yaitu “bawalah dunia mereka ke dunia kita dan antarkan dunia kita ke dunia mereka”. Asas ini mengisyaratkan pentingnya seorang guru memasuki dunia warga belajar sebagai langkah awal dalam pembelajaran, sehingga warga belajar tidak bosan dalam pembelajaran, dan mempermudah warga belajar mengoptimalkan hasil belajar yang didapat dari pembelajaran. Selain itu juga bisa menghindari miskonsepsi warga belajar dan menuju ke konsep ilmiah. QL menggunakan berbagai macam metode ceramah, tanya jawab, diskusi, demonstrasi, kerja kelompok, eksperimen, dan metode pemberian tugas. Suyatno (2009) menyatakan metode ceramah bermanfaat untuk mengetahui fakta yang sudah diajarkan dan proses pemikiran yang telah diketahui serta untuk merangsang warga belajar agar mempunyai keberanian dalam mengemukakan pertanyaan, menjawab atau mengusulkan pendapat. Metode demonstrasi membantu warga belajar dalam memahami proses kerja suatu alat atau pembuatan sesuatu, membuat pelajaran menjadi lebih jelas dan lebih konkret serta menghindari verbalisme, merangsang warga belajar untuk lebih aktif mengamati dan dapat mencobanya sendiri. Metode kerja kelompok akan membuat warga belajar aktif mencari bahan untuk menyelesaikan tugas dan menggalang kerjasama dan kekompakan dalam kelompok. Metode eksperimen membantu warga belajar untuk mengerjakan sesuatu, mengamati prosesnya dan mengamati hasilnya, membuat warga belajar percaya pada kebenaran kesimpulan percobaannya sendiri. Metode pemberian tugas akan membina warga belajar untuk mencari dan mengolah sendiri informasi dan komunikasi serta dapat membantu warga belajar untuk mengembangkan kreativitasnya. Metode yang telah dikemukakan di atas tidak ada yang sempurna bila berdiri sendiri, sehingga harus digunakan secara bergantian untuk saling melengkapi kekurangan-kekurangan yang ada. Penggunaan berbagai metode penyajian pelajaran secara bergantian akan membuat warga belajar menikmati kegiatan belajarnya dan tidak merasakan belajar yang monoton, serta perbedaan karakteristik pada warga belajar dapat terlayani dengan baik. 2.3 Pendidikan Non Formal Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan (Wikipedia, 2010). Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional. Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja. Pendidikan kesetaraan meliputi Paket A (setara SD), Paket B (setara SMP) dan Paket C (setara SMU), serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik seperti: Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, majelis taklim, sanggar, dan lain sebagainya, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik. Kelompok Belajar atau Kejar adalah jalur pendidikan nonformal yang difasilitasi oleh pemerintah untuk warga belajar yang belajarnya tidak melalui jalur sekolah, atau bagi warga belajar yang belajar di sekolah berbasis kurikulum non pemerintah seperti Cambridge, dan IB (International Baccalureate). Kejar terdiri atas tiga paket yaitu Paket A (setara SD), Paket B (setara SMP) dan Paket C (setara SMU). Setiap peserta Kejar dapat mengikuti Ujian Kesetaraan yang diselenggarakan oleh Departemen Pendidikan Nasional. 2.4 Psikologis Warga Belajar pada Pendidikan Non Formal Menurut asalnya katanya, psikologi berasal dari bahasa Yunani Kuno: Psyche yang berarti jiwa dan logia yang artinya ilmu sehingga, secara etimologis psikologi dapat diartikan dengan ilmu yang mempelajari tentang jiwa (Wikipedia, 2011). Selanjutnya Slavin (2008) mengatakan psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari perilaku manusia dalam hubungan dengan lingkungannya. Sedangkan psikologi pendidikan adalah akumulasi pengetahuan, kebijaksanaan, da teori yang didasarkan pada pengalaman yang seharusnya dimiliki oleh guru untuk memecahkan permasalahan keseharian dengan cerdas. Jika dikaitkan dengan jalur pendidikan, terjadi perbedaan antara psikologis anak di pendidikan formal dengan anak di pendidikan non formal khususnya pendidikan kesetaraan. Teori yang mendukung adalah teori perilaku (behavioristik). Teori ini lalu berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah pengembangan teori dan praktik pendidikan danpembelajaran yang dikenal sebagai aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Tokoh-tokoh aliran behavioristik di antara lain Thorndike, Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skinner. Berikut akan dibahas karya-karya para tokoh aliran behavioristik dan analisis serta peranannya dalam pembelajaran. a) Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut pula dengan teori koneksionisme (Slavin, 2008). Ada tiga hukum belajar yang utama, menurut Thorndike yakni (1) hukum efek; (2) hukum latihan dan (3) hukum kesiapan (Bell, Gredler, 1991). Ketiga hukum ini menjelaskan bagaimana hal-hal tertentu dapat memperkuat respon. a) Watson mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat diamati (observable) dan dapat diukur. Jadi walaupun dia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun dia menganggap faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan karena tidak dapat diamati. Watson adalah seorang behavioris murni, karena kajiannya tentang belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperi Fisika atau Biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana dapat diamati dan diukur. b) Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respon untuk menjelaskan pengertian belajar. Namun dia sangat terpengaruh oleh teori evolusi Charles Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar organisme tetap bertahan hidup. Oleh sebab itu Hull mengatakan kebutuhan biologis (drive) dan pemuasan kebutuhan biologis (drive reduction) adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus (stimulus dorongan) dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat berwujud macam-macam. Penguatan tingkah laku juga masuk dalam teori ini, tetapi juga dikaitkan dengan kondisi biologis (Bell, Gredler, 1991). c) Azas belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontiguiti. Yaitu gabungan stimulus-stimulus yang disertai suatu gerakan, pada waktu timbul kembali cenderung akan diikuti oleh gerakan yang sama (Bell, Gredler, 1991). Guthrie juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang dapat terjadi. Penguatan sekedar hanya melindungi hasil belajar yang baru agar tidak hilang dengan jalan mencegah perolehan respon yang baru. Hubungan antara stimulus dan respon bersifat sementara, oleh karena dalam kegiatan belajarpeserta didik perlu sesering mungkin diberi stimulus agar hubungan stimulus dan respon bersifat lebih kuat dan menetap. Guthrie juga percaya bahwa hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang. d) Konsep-konsep yang dikemukanan Skinner tentang belajar lebih mengungguli konsep para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun lebih komprehensif. Menurut Skinner hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang dikemukakan oleh tokoh tokoh sebelumnya. Menurutnya respon yang diterima seseorang tidak sesederhana itu, karena stimulus-stimulus yang diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan memengaruhi respon yang dihasilkan. Respon yang diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya memengaruhi munculnya perilaku (Slavin, 2008). Oleh karena itu dalam memahami tingkah laku seseorang secara benar harus memahami hubungan antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang mungkin timbul akibat respon tersebut. Skinner juga mengemukakan bahwa dengan menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab setiap alat yang digunakan perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya. Selanjutnya terkait dengan pendidikan kesetaraan ini merupakan kegiatan yang dapat dilaksanakan dalam pendidikan luar sekolah sebagai suatu sub sistem pendidikan non formal. Yang dimaksud pendidikan non formal adalah “pendidikan yang teratur dengan sadar dilakukan tetapi tidak terlalu mengikuti peraturan-peraturan yang tetap dan ketat”. Dengan adanya batasa pengertian tersebut, rupanya pendidikan non formal tersebut berada antara pendidikan formal dan pendidikan informal. UU No 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional menyebutkan bahwa jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan mengganti. Berkenaan dengan hal tersebut di atas, maka salah satu upaya yang ditempuh untuk memperluas akses pendidikan guna mendukung pendidikan sepanjang hayat adalah melalui pendidikan kesetaraan. Warga belajar (peserta didik) merupakan insan yang melanjutkan pendidikannya pada jalur pendidikan nonformal seperti Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), baik Paket-A, Paket-B, Paket-C. Khususnya untuk Paket C, Pada tataran inilah kita akan sulit menerapkan berbagai kebijakan pendidikan kesetaraan manakala kita tidak membedah terlebih dulu aspek psikologis warga belajar. Motivasi warga belajar mengikuti Paket C harus kita gali lebih mendalam sehingga akan diperoleh kesimpulan yang mampu memberikan solusi. Selama ini kita memberikan ‘obat generik’ kepada warga belajar, misalnya konstruksi kebijakan pengayaan keterampilan vokasi dan pengembangan kepribadian professional tanpa studi awal yang mendalam. Sehingga yang terjadi adalah pelatihan vokasional yang hanya sekedar dilaksanakan tanpa mempertimbangkan kebutuhan sebenarnya dari warga belajar. Begitu pula dengan sebagian peserta didik Paket C yang terpaksa putus sekolah karena hamil di luar nikah, tentunya juga punya motivasi tersendiri. Warga belajar dengan latar belakang seperti ini sudah barang tentu memiliki permasalahan psikologis yang tidak sederhana. Saya sempat melihat seorang warga belajar perempuan mengikuti ujian di dalam ruangan, sementara anaknya yang masih balita menunggu di selasar kelas. Jelas orientasi warga belajar tersebut adalah untuk memperoleh ijasah Paket C setara SMA agar paling tidak lebih mudah untuk mencari pekerjaan apa pun. Tentunya akan lebih mudah mencari pekerjaan dengan bekal ijasah Paket C daripada SMP. Pada saat ini pemilik counter HP pun lebih cenderung memilih karyawan yang berijasah SMA disbanding SMP. Sampai disini, kita menyadari bahwa yang diperlukan oleh mereka adalah pembimbing dalam artian yang bisa memahami dan memberikan layanan pendampingan, tidak sekedar membelajarkan agar mereka menguasai kompetensi dasar setiap mata pelajaran. Karena dalam perjalanan selama proses pembelajaran tutor akan banyak bersinggungan dengan kondisi psikologis warga belajar yang memiliki beragam masalah dan latar belakangnya. Pada tataran inilah saya tertarik dengan slogan PTK PNF yaitu ‘tidak sekedar guru’. Tutor tidak hanya bertindak selaku pendidik, namun juga pembimbing sekaligus konselor. Kembali kepada persoalan keterampilan fungsional yang dipandang menjadi ciri khas pendidikan kesetaraan. Berbagai alasan yang dimiliki warga belajar ketika menyatakan ikut serta Paket C yang berbeda, maka alangkah tidak bijaksana jika kita memberikan program keterampilan fungsional yang sama jenisnya kepada satu kelompok belajar. Namun sayangnya regulasi pengajuan dana bantuan operasional atau block grant sulit mengakomodasi adanya diversifikasi jenis keterampilan pada satu kelompok belajar. Inilah kesulitan yang dihadapi, sehingga ketika kebijakan tersebut diimplementasikan belum tentu mengakomodasi kebutuhan belajar setiap warga belajar. Karena terkadang yang menjadi keinginan kita belum tentu merupakan kebutuhan mereka. 2.5 Penerapan Quantum Learning pada Pendidikan Non Formal QL mengacu konsep yaitu, “bawalah dunia mereka ke dunia kita, dan antarkan dunia kita ke dunia mereka”. Inilah asas utama yang menjadi alasan dasar di balik segala strategi, model, dan keyakinan QL. Segala hal yang dilakukan dalam QL berorieontasi pada setiap interaksi dengan warga belajar, setiap rancangan kurikulum, dan setiap metode instruksional yang dibangun di atas prinsip, “bawalah dunia mereka ke dunia kita, dan antarkan dunia kita ke dunia mereka”. QL juga memiliki lima prinsip, atau kebenaran tetap. Serupa dengan asas utama, bawalah dunia mereka ke dunia kita, dan antarkan dunia kita ke dunia mereka, prinsip-prinsip ini mempengaruhi seluruh aspek QL. Jika dikaitkan dengan kondisi warga belajar pada pendidikan formal prinsip-prinsip tersebut menjadi sebagai berikut. 1) Segalanya berbicara Segalanya dari lingkungan kelas hingga bahasa tubuh, dari kertas yang dibagikan hingga rancangan pelajaran, semuanya mengirimkan pesan tentang belajar. Oleh karena itu, peran guru sangat penting dalam mengkondisikan kelas senyaman mungkin, apalagi anak di pendidikan formal sangat berbeda psikologisnya dengan anak pendidikan non formal khususnya paket C. 2) Segalanya bertujuan Semua yang terjadi dalam perancangan tutor mempunyai tujuan semuanya. Apapun yang dibuat tutor untuk warga belajar harus memiliki tujuan, sehingga rancangan pembelajaran tersebut dapat bermanfaat bagi warga belajar. 3) Pengalaman sebelum pemberian nama Otak kita berkembang pesat dengan adanya rangsangan kompleks, yang akan menggerakkan rasa ingin tahu. Oleh karena itu, proses belajar paling baik terjadi ketika warga belajar telah mengalami informasi sebelum mereka memperoleh nama untuk apa yang mereka pelajari. Khususnya untuk anak paket C, karena mereka memiliki kondisi yang berbeda-beda dan memiliki relasi yang lebih maka mereka dengan mudah mendapatkan informasi sebelum mengetahui materi yang diajarkan. Misalnya meminjam catatan kepada kakak kelasnya terdahulu. 4) Akui setiap usaha Belajar mengandung resiko. Belajar berarti melangkah keluar dari kenyamanan. Pada saat warga belajar mengambil langkah ini, mereka patut mendapat pengakuan atas kecakapan dan kepercayaan diri mereka. Misalnya, ketika warga belajar diberikan tugas rumah dan hasilnya bagus, maka sebagai tutor perlu mengakui usaha mereka, sehingga menjadi motivasi warga belajar. 5) Jika layak dipelajari, maka layak pula dirayakan Perayaan adalah sarapan pelajar juara. Perayaan memberikan umpan balik mengenai kemajuan dan meningkatkan asosiasi emosi positif dengan belajar. Misalnya memberikan tepuk tangan ketika salah seorang warga belajar mau maju presentasi di depan. Quantum Learning hampir sama dengan sebuah simfoni. Jika anda menonton sebuah simfoni, ada banyak unsur yang menjadi faktor pengalaman musik anda. Kita dapat membagi unsur-unsur tersebut menjadi dua kategori : konteks dan isi (context and content). Konteks adalah latar untuk pengalaman anda. Konteks merupakan keakraban ruang orkestra itu sendiri (lingkungan), semangat konduktor dan para pemain musik (suasana), keseimbangan instrumen dan musisi dalam bekerjasama (landasan), dan interprestasi sang maestro terhadap lembaran musik (rancangan). Unsur-unsur ini berpadu dan kemudian, menciptakan pengalaman bermusik yang menyeluruh. QL berakar dari upaya Dr. Georgi Lozanov, seorang pendidik berkebangsaan Bulgeria yang bereksperimen dengan apa yang disebutnya sebagai “suggestology“ atau “suggestopedia“. Prinsipnya adalah bahwa sugesti dapat dan pasti mempengaruhi hasil situasi belajar, dan setiap detail apapun memberikan sugesti positif ataupun negatif. Beberapa teknik yang digunakannya untuk memberikan sugesti positif adalah mendudukkan murid secara nyaman, meningkatkan partisipasi individu, menggunakan poster-poster untuk memberikan kesan besar sambil menonjolkan informasi, dan menyediakan guru-guru yang terlatih baik dalam seni pelajaran sugestif. Istilah yang hampir dapat dipertukarkan dengan suggestology adalah ”pemercepatan belajar“ (accelereted learning). Pemercepatan belajar didefinisikan sebagai “memungkinkan warga belajar untuk belajar dengan kecepatan yang mengesankan, dengan upaya yang normal, dan dibarengi kegembiraan“. Cara ini menyatukan unsur-unsur yang secara sekilas tampak tidak mempunyai persamaan : hiburan, permainan, warna, cara berpikir positif, kebugaran fisik, dan kesehatan emosional. Namun semua unsur ini bekerjasama untuk menghasilkan pengalaman belajar yang efektif. Menurut Suyatno (2009) QL mencangkup aspek-aspek penting dalam program neurolinguistik (NLP), yaitu suatu penelitian tentang bagaimana otak mengatur informasi. Program ini meneliti hubungan antara bahasa dari prilaku dan dapat digunakan untuk menciptakan jalinan pengertian antara warga belajar dan guru. Para pendidik dengan pengetahuan NLP mengetahui bagaimana menggunakan bahasa yang positif untuk meningkatkan tindakan-tindakan positif yang merupakan faktor penting untuk merupakan fungsi otak yang paling efektif. Semua ini dapat pula menunjukkan dan menciptakan gaya belajar yang terbaik dari setiap orang, dan menciptakan ”pegangan” dari saat-saat keberhasilan yang meyakinkan. QL memiliki paradigma yang harus dianut oleh warga belajar dan tutor adalah sebagai berikut (DePorter & Hernacki, 2011). a. Setiap orang adalah tutor dan sekaligus warga belajar sehingga bisa saling berfungsi sebagai fasilitator. b. Bagi kebanyakan orang belajar akan sangat efektif jika dilakukan dalam suasana yang menyenangkan, lingkungan dan suasana yang tidak terlalu formal, penataan duduk setengah melingkar tanpa meja, penataan sinar atau cahaya yang baik sehingga peserta merasa santai dan relaks. c. Setiap orang mempunyai gaya belajar, bekerja dan berpikir yang unik dan berbeda yang merupakan pembawaan alamiah sehingga kita tidak perlu merubahnya dengan demikian perasaan nyaman dan positif akan terbentuk dalam menerima informasi atau materi yang diberikan oleh fasilitator. d. Modul pelajaran tidak harus rumit tapi harus dapat disajikan dalam bentuk sederhana dan lebih banyak kesuatu kasus nyata atau aplikasi langsung. e. Dalam menyerap dan mengolah informasi otak menguraikan dalam bentuk simbol atau asosiatip sehingga materi akan lebih mudah dicerna bila lebih banyak disajikan dalarn bentuk gambar, diagram, flow atau simbol. f. Kunci menuju kesuksesan model quantum learning adalah latar belakang (background) musik klasik atau instrumental yang telah terbukti memberikan pengaruh positip dalarn proses pembelajaran. Musik klasik dari Mozart, bach, Bethoven, dan Vivaldi dapat meningkatkan kemampuan mengingat, mengurangi stress, meredakan ketegangan, meingkatkan energi dan membesarkan daya ingat. Musik menjadikan orang lebih cerdas. g. Penggunaan Warna dalam model quantum learning dapat meningkatkan daya tangkap dan ingat sebanyak 78%. h. Metoda peran dimana peserta berperan lebih aktif dalam membahas materi sesuai dengan pengalamannya melalui pendekatan terbalik yaitu membuat belajar serupa bekerja (pembelajaran orang dewasa) i. Sistim penilaian yang disarankan untuk abad 21 dalam pembelajaran adalah 50% penilaian diri sendiri, 30% penilaian teman, 20% penilaian trainer atau atasan. j. Umpan balik yang positif akan mampu memotivasi anak untuk berprestasi namun umpan balik negative akan membuat anak menjadi frustasi. Ini berdasar hasil riset pakar masalah kepercayaan diri, Jack Carfiled pada tahun 1982. 100 anak ditunjuk oleh periset selama sehari. Hasilnya, bahwa setiap anak rata-rata menerima 460 komentar negative dan hanya 75 komentar positif. Beberapa hal yang penting dicatat dalam QL adalah sebagai berikut. Para warga belajar dikenali tentang “kekuatan pikiran” yang tak terbatas. Ditegaskan bahwa otak manusia mempunyai potensi yang sama dengan yang dimilliki oleh Albert Einstein. Selain itu, dipaparkan tentang bukti fisik dan ilmiah yang memerikan bagaimana proses otak itu bekerja. Melalui hasil penelitian Global Learning, dikenalkan bahwa proses belajar itu mirip bekerjanya otak seorang anak 6-7 tahun yang seperti spons menyerap berbagai fakta, sifat-sifat fisik, dan kerumitan bahasa yang kacau dengan “cara yang menyenangkan dan bebas stres”. Bagaimana faktor-faktor umpan balik dan rangsangan dari lingkungan telah menciptakan kondisi yang sempurna untuk belajar apa saja. Hal ini menegaskan bahwa kegagalan, dalam belajar, bukan merupakan rintangan. Keyakinan untuk terus berusaha merupakan alat pendamping dan pendorong bagi keberhasilan dalam proses belajar. Setiap keberhasilan perlu diakhiri dengan “kegembiraan dan tepukan.” Kerangka perancangan pengajaran Quantum Learning dengan pendekatan TANDUR pada pendidikan non formal adalah sebagai berikut. a) Tumbuhkan Tumbuhkan minat belajar warga belajar dengan memuaskan rasa ingin tahu dalam bentuk : Apakah Manfaatnya Bagiku (AMBAK) jika aku mengikuti topik pelajaran ini dengan guruku? Tumbuhkan suasana yang menyenangkan di hati warga belajar, dalam suasana relaks, tumbuhkan interaksi dengan warga belajar, masuklah ke alam pikiran mereka dan bawalah alam pikiran mereka ke alam pikiran anda, yakinkan warga belajar mengapa harus mempelajari ini dan itu, belajar adalah suatu kebutuhan warga belajar, bukan suatu keharusan.Tumbuhkan niat yang kuat pada diri anda bahwa anda akan menjadi guru dan pendidik yang hebat. Alami Unsur ini mendorong hasrat alami otak untuk “menjelajah”. Cara apa yang terbaik agar warga belajar memahami informasi? Kegiatan apa yang dapat diberikan agar pengetahuan dan keterampilan yang sudah dimiliki warga belajar bertambah. b) Namai Setelah warga belajar melalui pengalaman belajar pada topik tertentu, ajak mereka untuk menulis di kertas, menamai apa saja yang telah mereka peroleh, apakah itu informasi, rumus, pemikiran, tempat dan sebagainya, ajak mereka untuk menempelkan nama-nama tersebut di dinding kelas dan dinding kamar tidurnya. c) Demonstrasikan Melalui pengalaman belajar warga belajar mengerti dan mengetahui bahwa dia memiliki kemampuan (kompetensi) dan informasi (nama) yang cukup, sudah saatnya dia mendemonstrasikan dihadapan guru, teman, maupun saudara-saudaranya. d) Ulangi Pengulangan memperkuat koneksi saraf dan menumbuhkan rasa “aku tahu bahwa aku tahu ini!”. e) Rayakan Perayaan adalah ekspresi kelompok atau seseorang yang telah berhasil mengerjakan sesuatu tugas atau kewajiban dengan baik. Jadi, jika warga belajar sudah mengerjakan tugas dan kewajibannya dengan baik, layak untuk dirayakan lewat bertepuk tangan, bernyanyi bersama-sama, atau secara bersama-sama mengucapkan “aku berhasil! BAB III PENUTUP 3.1 Simpulan 1) Quantum Learning merupakan suatu kiat, petunjuk, strategi dan seluruh proses belajar yang dapat mempertajam pemahaman daya ingat, serta belajar sebagai proses yang menyenangkan dan bermakana. 2) Langkah Quantum Learning terdiri dari tumbuhkan, alami, namai, demonstrasikan, ulangi, dan rayakan. 3) Pendidikan non formal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. 4) Kondisi psikologis anak pada pendidikan non formal beragam, dan jelas berbeda dengan psikologis anak pada pendidikan formal. 5) Penerapan Quantum Learning pada pendidikan formal harus disesuaikan dengan kondisi warga belajar, sehingga nantinya bisa bermanfaat bagi warga belajar. 3.2 Saran Quantum Learning perlu diterapkan di pendidikan non formal khususnya pendidikan kesetaraan, karena mengingat pendidikan kesetaraan sesungguhnya memiliki masalah yang sama dengan pendidikan formal. Kesulitan pendanaan, buruknya sarana prasana hingga keterbatasan pengajar, dan yang paling utama psikologis warga belajar menjadikan pendidikan kesetaraan tidak menjadi pilihan bagi mereka yang tidak mampu mengikuti pendidikan formal. Parahnya, pendidikan kesetaraan malah dijadikan ’keranjang sampah’ bagi warga belajar yang tidak lulus ujian nasional. Makalah ini setidaknya bisa dijadikan informasi berharga bagi pemerintah dan mereka yang terlibat dalam pendidikan non formal untuk semakin memacu kualitas. Agar tercipta akses pendidikan yang merata bagi anak bangsa. DAFTAR PUSTAKA Bell Gredler, E. Margaret. 1991. Belajar dan Membelajarkan. Jakarta: CV. Rajawali Moll, L. C. (Ed.). DePorter, B., & Hernacki, M. 2011. Quantum Learning (membiasakan belajar nyaman dan menyenangkan). Kaifa: Bandung Suharsaputra, U. 2011. Pendidikan Non Formal. Terdapat pada uharsputra.wordpress.com/pendidikan/pendidikan-nonformal/. Diakses tanggal 2 November 2011. Sudrajat, A. 2008. Konsep Quantum Learning. Terdapat pada http:// Konsep%20Quantum%C2%A0Learning%20%20%20akhmad%20sudrajat% 20%20tentang%20pendidikan. htm. Diakses tanggal 2 November 2011. Baedowi, A. 2010. Sekolah Non Formal. Terdapat pada http://kickandy.com/ friend/ 4/37/1943/read/sekolah-non-formal.html. Diakses tanggal 2 November 2011. Wikipedia. 2011. Teori Belajar Behavioristik. http://id.wikipedia.org/wiki/ Teori_Belajar_Behavioristik. Slavin, R.E. 2008. Educational Psychology: Theory and Practice. Eight Edition. Boston: Allyn and Bacon. Suyatno. 2009. Menjelajah Pembelajaran Inovatif. Surabaya: Masmedia Buana Pustaka. Armina. 2011. Pendidikan Kesetraan. Terdapat pada www.paudni.kemdiknas.go.id/ dikmas/nilem-pkbm//printxls.php? Diakses tanggal 2 November 2011.

IMPLEMENTATION OF CONCEPTUAL CHANGE LEARNING MODEL IN PHYSIC FOR REMEDIAL OF MISCONCEPTIONS AND ENHANCING PRODUCTIVE HABIT OF MIND CLASS X2 SMA NEGERI 2 SINGARAJA ACADEMIC YEAR 2010/2011

ARTIKEL By NI PUTU AYU HERVINA SANJAYANTI NIM: 0713021013 PHYSIC EDUCATION DEPARTMENT MATEMATHIC AND SCIENCE FACULTY GANESHA EDUCATION UNIVERSITY MAY 2011 ABSTRACT This classroom action research aims to 1) implement a model of conceptual change learning, 2) remediation of students misconceptions, 3) to describe students Productive Habit of Mind, and 4) describe the responses of students to the application of conceptual change learning model. The research was conducted in class X2 SMA Negeri 2 Singraja second semester of the school year 2010/2011, it is consisting 31 student of 16 male students and 15 female students. The object of this study is students' misconceptions. The research are conducted in two cycles of learning; with the stages in each cycle are planning, action, observation/evaluation, and reflection. Data collected in this study collected with misconceptions remedial test containing questions for the subject of physics misconceptions is temperature and heat. Tests are arranged in the descriptions form of 15 items in phase I and phase II on 10 items. Data of Productive Habit of Mind include self-regulation, critical thinking, and creative thinking, and collected from the questionnaire. Student responses data collected using the questionnaire. This study is successful if it acquired 60% of the percentage change misconceptions, Productive Habit of Mind minimal categorized is productive, and positive student responses categorized is minimal. The data has been collected it, then its analyzed descriptively. The analysis showed 1) students' misconceptions change in Phase I is 56.60% and in phase II to be 82.04%; 2) students Productive Habit of Mind with an average score 83.78 and are on a productive category, and 3) student responses to the application of learning models of conceptual change in learning physics is an average score 84.78 and is on the positive category. Key words: conceptual change learning model, misconceptions, Productive Habit of Mind INTRODUCTION Background Issues The Government is being intensively incessant efforts to improve the quality of education in this globalization. One of the efforts the government has done is to refine the Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) had been developed and implemented as a refinement of the KBK, with the aim of ensuring the achievement of national education goals. The reality on the ground shows that what expected as mentioned above not implemented optimally. This is according to interviews with head master and physics teacher at SMA N 2 Singaraja. Although KTSP has nearly three years applied in each educational unit, but the quality of science education in particular physics cannot said to have increased. It is like that happened in class X2 SMA Negeri 2 Singaraja. Students in the class X2 SMA Negeri 2 Singaraja was less interested in learning physics. This according to the observations researchers in SMA Negeri 2 Singaraja that the learning outcomes achieved by students on the subjects of Physics are still low. Based on early studies in this class revealed that the achievement of understanding the concept and implementation of the concept of X2 grade students at SMA Negeri 2 Singaraja in daily tests based on the value of the academic year 2010/2011 has not been optimized as shown in Table 1.1. Tabel 1.1 Student Results Data CLASS X2 Aspect Daily test 1 2 High value 80 80 Lowest value 20 60 average 54 71,50 Frequency value of 75 to the top 6 27 Frequency value below 75 25 4 exhaustiveness classical 18,75% 80% (Source: list value of class X2 SMA Negeri 2 Singaraja 2011) Based on observations in the PPL-Real on learning in the class X2 SMA Negeri 2 Singaraja school year 2010/2011, interviews with teachers was teaching in the class concerned, and giving a questionnaire to students, it was revealed several factors that cause low student learning outcomes are as follows. First, at the beginning of learning, students' prior knowledge not been explored in an optimal fashion, so that teachers do not know whether the conception of students have been appropriate or still have misconceptions. Second, the process of learning is still teacher- centered, so the involvement of students in the learning process is very less, so the teacher will not be able to monitor whether students Productive Habit of Mind has increased or not. Third, the provision of physical meaning is still not visible. In accordance with the results of a questionnaire given to students, most students said that studying physics is difficult and tedious as they relate to memorize formulas which are so numerous and complicated. Fourth, the low level of awareness in learning. This is evident from the results of analysis of questionnaires from 31 students there are 18 students stated that he was not prepared to learn early before starting the learning process in class and 8 students declared sometimes to learn or not depends on the level of difficulty of material, and 5 students who states that routinely learning. Fifth, the students reflected the lack of understanding the concept of the value of daily tests that have been followed by the students as shown in Table 1.1. There is still a student who scores below the minimum completeness criteria of 75. Based on the above, researchers are motivated to conduct classroom action research to address problems that arise in the class for researchers conducted observations. Researchers propose a study titled Implementation of Conceptual Change Learning Model in Physic for Remedial of Misconceptions and Enhancing Productive Habit of Mind Class X2 SMA Negeri 2 Singaraja Academic Year 2010/2011. Problem Formulation Based on the background of the above problems, the main problems will be solved through this action research namely 1) How to implement conceptual change learning model in class X2 SMA Negeri 2 Singaraja academic year2010/2011? 2) Is the implementation of conceptual change learning model capable to remedial the student’s misconceptions in the class X2 SMA Negeri 2 Singaraja academic years 2010/2011? 3) How student is Productive Habit of Mind of the physics in the class X2 SMA Negeri 2 Singaraja academic year 2010/2011? 4) How many of the student’s responses in the class X2 SMA Negeri 2 Singaraja school year 2010/2011 on the implementation conceptual change learning model? Research Objectives Based on the above formulation of the problem, then the purpose of this study is, to implementation of Conceptual Change Learning Model in class X2 SMA Negeri 2 Singaraja academic year 2010/2011, to remediate of misconceptions in classX2 SMA Negeri 2 Singaraja academic year 2010/2011 through Conceptual Change Learning Model, to describe the physics of student Productive Habit of Mind in class X2 SMA Negeri 2 Singaraja academic year 2010/2011 through Conceptual Change Learning Model implementation, student responses describing in the class X2 SMA Negeri 2 Singaraja academic year 2010/2011 on the implementation of Conceptual Change Learning Model. Benefits of Research The benefits of this action research is, through the implementation of the conceptual change model of learning that is the confrontation of problems related to misconceptions by providing contextual examples, can remediated the misconceptions and provide the opportunity for students to ask the opinion in accordance with the prior knowledge he already has. Besides the implementation of the conceptual change model of learning, especially in the provision of text denial and confrontation problems can provide benefits to high school physics teacher as an innovative alternative learning model that is able to enhance student understanding. This is because at the time of the study researchers collaborate with teachers in teaching. Furthermore, researchers were also able to develop themselves by practicing the theories that had obtained through demonstrations and analogies, so it can remediate the misconceptions and enhance students' Productive Habit of Mind, and gain direct experience of the procedures to conduct research, especially research class action. STUDY REFERENCES Constructivist Learning Costu et al. (2010) states one of the important role of teachers in the classroom, not only provide knowledge to students, but helping students to construct their own knowledge through learning experience. Constructivist learning theory emphasizes new knowledge builds on existing knowledge. According to constructivist theory, one of the most important principle in the learning process is that teachers not only impart knowledge to students but students must construct their own knowledge in his mind (Trianto, 2007). Baharuddin et al (2007) adds that notion, constructivist, learning is a process of knowledge formation by considering students' prior knowledge possessed. Mac Kinnon et al. (2010) expressed the view constructivism acknowledges the existence of prior knowledge held by students before participating in learning in the classroom. Based on this view, students no longer viewed as a blank paper, which can write anything and do not understand anything before the process of learning in the classroom. Furthermore, Suparno (1997) adds that students should been understood as a subject of learning that already has prior knowledge before learning takes place. Based on the view of constructivism, then prior knowledge that one has very important role in the formation of scientific knowledge during the learning process takes place. Prior knowledge is knowledge gained from everyday experience or prior learning (Aryulina, 2004), while Nur & Retno (2000) states that prior knowledge is a collection of individual knowledge and experience gained throughout the course of their lives, and what he take on a new experience. Conceptual Change Learning Model Conceptual change model assumes that each student who will follow in the classroom learning has undergone a misconception. Misconceptions that need to remediate by giving an explanation through demonstrations, examples of the correct match by providing general concepts (Cakir, 2008). So, in the mind of every student is there a cognitive structure that varies from one student to another student. Furthermore Pines (Cakir, 2008) adds that the cognitive mind, the power to know, consciousness, concept, focus on a person's knowledge, therefore, more emphasis on the cognitive structure of concepts, cognition, understanding and ideas of someone about something. Hewson (1981) suggested two main components in the conceptual change model, namely 1) setting the circumstances, is believed to determine the status of the concept in a conceptual change, and2) a person's conceptual ecology within the context in which conceptual change occurs. This can affect the process. Furthermore, Posner et al. (in Dole and Sinatra, 1998) identifies four fundamental variables in conceptual change that is dissatisfied in which learners must be dissatisfied with the concept he had. Intelligible which learner’s are areas that new concepts can be understood? Plausible that learners feel that the new conception obtained are reasonable. Fruitful which learners can find the usefulness of newly acquired concepts. Posner et al. (in Cakir, 2008) states there are four critical variables in a conceptual change model as shown in Figure 2.1. Based on Figure 2.1 can be explained the process of conceptual change in students' cognitive structures as follows. First, the students prior to follow the learning process have to have prior knowledge different for each individual. In this condition, learners tend to retain the initial conception held and difficult to make changes. If the initial conception is in line with the scientific conception, there will be a process of assimilation on students that is mutually reinforcing the concept that an existing concept more solid. How to change the alternative conceptions to scientific conceptions is to provide a new concept to the students through the process of dissatisfaction, intelligible, plausible, and fruitful (Dole & Sinatra, 1998). Second, should the new conception must meet four requirements to be able to inspire learners are still misconceptions, namely 1) dissatisfactions, 2) intelligible, 3) plausible, and 4) fruitful. If students are able to pass through four stages, then the student it has said to undergo a process of accommodation. The new conception must be able to grow the motivation for the students that the initial conception of the misconceptions is not appropriate to explain a concept that can be learn so that they appear in the student discontent against the preconceptions held. Third, the new conception must be clear and easily understood (intelligible) and meaningful for students. After the students have owned dissatisfactions of conception so that they will experience disequilibrium. In this condition, students will want to change the conception of a new beginning if conception has a strong alibi, and believed. Fourth, students should find that the new concepts presented should be reasonable (plausible) and the corresponding facts (truthful) so that the cognitive structure of students' emerging beliefs about the new concept. Therefore, new concepts presented must be consistent and have a relationship with other concepts in explaining a phenomenon that occurs so that seems reasonable. Fifth, students should be confident that the new conception of the study is useful (fruitful). The new concept should be able to solve the actual problems faced by students who cannot be solved by old concepts so that students increasingly feel the usefulness of these new concepts. Descriptors each of these stages as shown in table 2.1. Table 2.1 Description of variables in Conceptual Change Learning Model Variable Descriptions Intelligible I must know the meaning of that concept I should be able to describe the concept that the language itself. I can give examples. I can find a way to present my ideas to other friends. Plausible This concept must be meaningful to me. I have to believe that the concept was happening in everyday life. Fruitful First, it must be meaningful concept. This concept must be reasonable. I can realize that the concept was useful. I can apply it to the other concepts. The new concept gives me new ideas to conduct an investigation or exploration. The new concept is a better explanation of something. Adapted from Hennesey (in Cakir, 2008) The Stages of Conceptual Change Learning Model Baser (2006) suggested statistically about the providing of cognitive conflict based physics instruction, showed a higher yield compared with traditional physics instruction (conventional). Here presented the stages of Conceptual Change Learning Model, combined with Permendiknas. No. 41 year 2007 as shown in Table 2.2. Table 2.2 The Syntax of Conceptual Change Learning Model Learning Syntax by Permendiknas No.41 year 2007 The syntax of conceptual change learning model Exploration 1. Exploring students' prior knowledge 2. Presenting problems associated with the contextual 3. Giving students the opportunity to respond to problems presented 1. Serving conceptual and contextual issues 2. Confrontation misconceptions associated with these issues Elaboration 1. Provide opportunities for students to conduct experiments 2. Guide students to identify the events that occurred at trial and in the contextual linking. 1. Confrontation following rebuttal analogy strategies demonstrations or counter-examples 2. Proof of concept and principles of scientific 3. Serving the material and contextual examples Confirmation 1. Provide feedback and reinforcement in the form of verbal, cues, the students 2. Providing the problems in the form of exercises 1. Confirmation through the questions to expand the understanding and implementation of knowledge were significantly (Syntax adaptation of conceptual changes learning model with syntax of Permendiknas No.41 of 2007) Suparno (2005) states that the strategy used in the learning process by using strategy of denial, followed by cognitive conflict, is demonstrations, analogies, confrontational, and counter- examples. Misconceptions According to Berg (1991) conception of the students are always different from the conception physicists. Physicists’ conception in general more complex, more complicated, involving more relationships between concepts than students. If the conception of students with a simplified conception of physicists, the conception of students cannot called wrong, but if the conception of students opposed to the conception of the physicist said to be a misconception (misconception). Novak (1984) states that misconceptions as the interpretation of concepts in a statement that cannot be accepted. Furthermore, Brown (2005) considers misconceptions as a naive view and defines misconceptions as an idea that is incompatible with the scientific conception. Baser (2006) adds that misconceptions or alternative concepts arising from the initial experience and the wrong interpretation of existing information, naive form of understanding that is inconsistent with the views of experts. Misconceptions Sources That occurs in students' misconceptions can vary according to the sources of misconceptions. The results Sadia (2004) reveals that the misconceptions in students could occur because of errors in previous learning process and continue to take by students. In addition, misconceptions occur regardless of age learners, although learners have different ages, but tend to have common misconceptions of scientific topics (Balci, 2004). Furthermore, Suparno (2005) suggests there are five factors that lead to misconceptions in students, is students, teachers, textbooks, context, and teaching methods. Productive Habit of Mind Some experts developed the concept of learning about learning, including Marzano describes learning activities will be effective if the five dimensions of learning are described as follows: Figure 2.2 Dimensions of Learning Model (Adapted from Marzano, 1992) Furthermore, Marzano (1992) suggests Productive Habit of Mind include self-regulation, critical thinking, and creative thinking. The characteristics of a person who has the competence of self-regulation, is to have self-awareness, like planning, understanding of the resources required, sensitive to feedback, capable of evaluating the effectiveness of the actions themselves. The characteristics of a person who have competence in critical thinking, is carefully, and thoroughly, like clarifying, open, emotionally stable, immediate action when the situation requires, likes to ask, respecting the feelings and opinions of others. The characteristics of people, who have the competence to think creatively, are resilient tasks, realizing the limitations of his knowledge and ability have personal standards to achieved in the study, generate new ways to achieve the standard. Relevant Research Some relevant research associated with this research, is the first, the research conducted by the implementation Widiarini conceptual change learning models in an attempt to remediate misconceptions and increase understanding of physics concepts class X2 SMA Negeri 1 Seririt academic year 2009/2010. The results of this study indicate changes in the conceptual model of learning may increase learning outcomes and understanding of physics concepts,and to remediate student’s misconceptions. Second, research conducted by Pabuçcu, A. & Geban, about remediating misconceptions concerning chemical bonding through conceptual change text. Results of this study indicate difference in students’ physics learning outcomes significantly between experimental group’s with access to the conceptual change text oriented instruction and the control group with traditional instruction methods. Third, research conducted by Ipek, H., & Calik, M. is combining different conceptual change methods within a four-step constructivist-teaching model about presenting different combinations to change the method of conceptual models in a four-step constructivist teaching. This research provides results that can enhance learning conceptual change students' motivation and activeness. Mindset Conceptual change learning model as an alternative constructivism-learning model is able to provide opportunities for students to construct new knowledge through cognitive conflict strategies. A student will feel dissatisfied with the new conception is accepted, so that the necessary scientific facts to prove a concept. Thus, a new conception must be comprehensible and understandable (intelligible) by students to be able to construct new knowledge that is memorable for students. The new conception must also be reasonable (plausible) to be well received by students. In addition, a new concept to be useful (fruitful) to explain the problems encountered in new situations. In this condition, it is necessary to change the conceptual model that is able to facilitate students to construct their own knowledge so that the concept still labeled old misconceptions turned into a scientific conception. Conceptual change learning model designed by linking between the stages with the principles. Provision of contextual examples of natural phenomena and scientific proof of concept will be able to give meaning and beneficial to students. Through the implementation of the Conceptual, change-learning model expected to change the misconceptions that students experienced the scientific conception so that it can minimize students who have misconceptions. Conceptual change learning model also expected to increase habituation productive thinking physics students in learning through practical activities and demonstrations. Productive thinking is important in learning, because habituation would help them learn themselves about what they want to know. Students can said to learn the most effective when students have been able to develop the habit of thinking that led to them so that they can think critically, think creatively, and can regulate the behavior itself. So through the implementation of the Conceptual change learning model is expected to remediate misconceptions and enhance habituation productive thinking, as well as student responses to the learning model Conceptual minimal positive changes. Action Hypothesis Based on the study of theory and frame of mind, which have described, the hypothesis can formulated as follows. 1) Implementation of Conceptual Change Learning Model can to remediate students misconceptions in the class X2 SMA Negeri 2 Singaraja academic year2010/2011. RESEARCH METHODS Types of Research This study uses classroom action research design is based on Kemmis and Taggart research (in Sukardi, 2003) it is from the planning phase, action, observation / evaluation, and reflection. Classroom Action research aims to remediate of student misconceptions and increase Productive Habit of Mind students of physics in the class X2 SMA Negeri2 Singaraja academic year 2010/2011, which is implemented in two phases (phase I and phase II). Subjects Research This class action research subjects are all students in grade X2 SMA Negeri Singaraja academic year 2010/2011, which amounted to 31 people consisting of 15 male students and 16 female students. Object Research The object of this class action research is misconception students, Productive Habit of Mind, the student response, and conceptual change-learning model. Action Research Procedure Research conducted class action consists of two phases (can be seen in Figure 3.1). Each cycle divided into 4 stages of activities, namely: (1) planning, (2) actions, (3) observation/evaluation, and (4) reflection. Distributions of material in each phase based on the connection between the basic competencies and indicators of student achievement. The details of the material in each cycle can see in Table 3.1. Figure 3.1 Two Phase of Action Class Implementation Flow Prediction (Adapted from Kemmis and Taggart in Sukardi, 2003) Table 3.1 Details of Activities in Each Phase Phase Teaching Material Activity Time I misconceptions test Following the test 1 lesson hour Temperature and Thermometers Equality Demonstration, students work on worksheets, quizzes 2 lesson hour Substance expansion Experiments, discussions and student work on worksheets 2 lesson hour Being a change Materials Demonstration, students work on worksheets, quizzes 2 lesson hour End of test phase Following the test 3 lesson hour II Misconceptions tests Following the test 1 lesson hour Black principle Demonstration, students work on worksheets, quizzes 3 lesson hour Calor transfer Experiments, discussions and student work on worksheets 2 lesson hour End of test phase Following the test 2 lesson hour Description: 1 Lesson hour = 45 minutes Data Collection and Research Instrument Technique Data collection techniques used in research conducted in grade X2 SMAN 2 Singaraja can see in Table 3.2. Table 3.2 Data Collection Technique No Data Types Data Source Research Instruments Time 1 Remediated of Misconception student 15 (phase I) and 10 (phase 2) items test remediate of misconceptions in the form of descriptions At the beginning of the meeting and final meeting of each phase 2 Productive Habit of Mind student Questionnaires of productive thinking At the end of Phase II meeting 3 Student Feedback student Questionnaires End of phase II Students to think productively explored using a questionnaire developed productive thinking of the 14 indicators of productive thinking. In Table 3.3 presented the lattice questionnaire productive thinking. Table 3.3 Grid Questionnaire for Productive Thinking Aspect Indicators Statement Amount Self Regulation a. Having self-awareness 1,14,24,28,30 5 b. Like planning 3,15,31,37 4 c. Abundance of resources needed 5,18,40 3 d. Sensitive to feedback 4,17,39 3 e. able to evaluate the effectiveness of the actions themselves 2,16,34,36 4 Critical Thinking a. have the accuracy and thoroughness 7,21,26,43 4 b. like to clarify, open, emotionally stable 19,9,42,45 4 c. immediately took this step when the situation requires 20,35,38 3 d. likes to ask 8,23,44 3 e. Appreciate the feelings and opinions of others 6,27,29,41 4 Creative Thinking a. Tough tasks 12,32,50 3 b. Recognizing the limitations of their own knowledge and abilities 10,25,46 3 c. Have personal standards to be achieved in learning 13,33,48,9 5 d. Generating new ways to achieve the standard 11,22,47 3 The final stages of implementation measures, students were give a questionnaire that serves to explore students' responses to the implementation of the Conceptual Changes Learning Model during the process of learning in the classroom. Criteria for assessment of response using a Likert scale as shown in table 3.4. Table 3.4 Student Assessment Response Format Choice Positive Statement Negative Statement Very Agree 5 5 Agree 4 4 Enough 3 3 Less Agree 2 2 Disagree 1 1 Data Analysis Technique Changes in Student Misconceptions Change data were analyzed descriptively student misconceptions, namely by finding the percentage decrease in the number of students who have misconceptions on the test early misconceptions with misconceptions final test for each question item. This research is successful if the change misconceptions experienced by student is after the implementation of conceptual change learning models for each of the items about to reach 60%. These criteria are in accordance with the criteria of entry threshold (Read, in Santyasa et al., 2008). Percentage Change misconceptions experienced by students in each phase by using the equation: Description: = Percentage of students in the early misconceptions each phase = Percentage of misconceptions students at the end of each phase Productive Habit of Mind Productive Habit of Mind descriptive analyzed of students Data and guidelines for classification of Productive Habit of Mind student conversion can see in Table 3.5. Table 3.5 Guidelines for conversion of student’s productive thinking Skor Qualitative of Productive Thinking MI + 1,5 SDI X< MI +3 SDI Very productive MI + 0,5 SDI X< MI +1,5 SDI Productive MI - 0,5 SDI X< MI +0,5 SDI Quite productive MI - 1,5 SDI X< MI -0,5 SDI Less productive MI - 3 SDI X< MI -1,5 SDI Very less productive (Nurkancana, 1990) Description: MI: Mean ideal SDI: Standard deviasi ideal Where: MI = ½ (highest score + lowest score), and SDI = 1/3 (MI) The guidelines classification of student responses to the application of the conceptual change learning model in learning physics that have been carried out represented by Table 3.6. Table 3.6 The guidelines Classification for Students Productive Habit of Mind No Criteria Category 1 90 X< 120 Very productive 2 70 X< 90 Productive 3 50 X< 70 Quite productive 4 30 X< 50 Less productive 5 0 X< 30 Very less productive Success criteria for student responses are if the data obtained from the analysis of the results of at least productive. Student Feedback Classification of student response categories defined by the five levels as shown in Table 3.7. Table 3.7 Classification of Response Criteria for Students No Criteria Category 1  MI + 1,5 SDI very positive 2 MI + 0,5 SDI   MI + 1,5 SDI positive 3 MI – 0,5 SDI   MI + 0,5 SDI quite positive 4 MI – 1,5 SDI   MI – 0,5 SDI less positive 5  MI – 1,5 SDI very less positive (Nurkancana, 1990) Formula for MI and SDI are: MI = ½ (highest score + lowest score) SDI = 1/6 (highest score + lowest score) Total student responses statement items is 20 items response statement. Based on this can be determined the ideal highest score is 100 and the ideal lowest score is 20. The guidelines classification of student responses to the application of the conceptual change learning model in learning physics that have been carried out represented by Table 3.8. Table 3.8 Classification the guidelines Student Responses No Criteria’s Categories 1  90 very positive 2 70   90 positive 3 50   70 quite positive 4 30   50 less positive 5  30 very less positive Success criteria for student responses is if the data obtained from the analysis of minimal positive results. RESULTS AND DISCUSSION The results of phase I Research Overall percentage change misconceptions and scientific conceptions of students can present in Table 4.2 and Figure 4.1. Table 4.2 Analysis Results Percentage of Students Conceptions Summary in phase I Percentage of conception (%) Reduction of misconceptions (%) Improvement Of Scientific Concepts (%) Misconceptions Scientific concept Start End Start End 56,48 (16 students) 24,51 (5 students) 15,91 (8 students) 69,88 (23 students) 68,00 53,97 Figure 4.1 Analysis Results Percentage of Students Conceptions Summary in phase I Based on Table 4.3 servings, can be stretched interpretation that states that the reduction of misconceptions (misconceptions of test results minus the initial misconceptions final test results) experienced a pretty good student in improving students' understanding of concepts. The results of phase II Research Changes in Student Misconceptions Overall percentage change in student misconceptions and scientific conceptions can present as Table 4.4 and Figure 2. Table 4.5 Analysis Results Percentage of Students Conceptions Summary in phase II Percentage of conception (%) Reduction of misconceptions (%) Improvement Of Scientific Concepts (%) Misconceptions Scientific concept Start End Start End 53,86 (17 students) 9,67 (4 students) 42,25 (13 students) 92,01 (23 students) 82,00 53,97 Figure 4.2 Analysis Results Percentage of Students Conceptions Summary in phase II Based on Table 4.4, can be stretched interpretation that states that the reduction of misconceptions (misconceptions of test results minus the initial misconceptions final test results) and an increase in scientific conceptions experienced by students quite well in improving students' understanding of concepts. Students Productive Habit of Mind Habit of Mind was collected using questionnaires given to students at the end of phase II. Based on the analysis of the questionnaire scores, obtained an average score of students at 83.78 with a standard deviation is 7.87. The data obtained presented in Appendix 45. Distribution of habituation to think productively in each category are presented in Table 4.5 and Figure 4.3. Table 4.5 Students Productive Habit of Mind Profile No Range of Scores Frequency Percentage Category 1 90 X< 120 20 65,4% Very productive 2 70 X< 90 11 34,6% Productive 3 50 X< 70 0 0,00% Quite productive 4 30 X< 50 0 0,00% Less productive 5 0 X< 30 0 0,00% Very less productive Figure 4.3 Analysis Results of Students Productive Habit of Mind Student Feedback Student responses to the application of conceptual change learning model in the learning process collected by using questionnaire responses given to students at the end of phase II. Based on the analysis score student responses, found the average student score is84.78 with a standard deviation is 7.67. Student response data obtained are presented in Appendix 45. Distribution of student responses in each category are presented in Table 4.6. Table 4.6 Students Profile against Learning Response of conceptual change learning model No Range of Scores Frequency Percentage Category 1  90 19 59,4% very positive 2 70   90 12 40,6% positive 3 50   70 0 0,00% quite positive 4 30   50 0 0,00% less positive 5  30 0 0,00% very less positive Student Percentage responses to the learning process of a conceptual change learning model is presented in Figure 4. Figure 4.4 Percentage Responses against Students Learning Process Based on predefined criteria, the average response obtained X2 graders SMA Negeri 2 Singaraja is in the positive category. DISCUSSION This research has-been conducted over two phases in class X2 SMA Negeri 2Singaraja academic year 2010/2011 in the second semester to the subject of temperature and heat. The results showed an increase to changes in misconceptions, and Productive Habit of Mind through the application of learning models conceptual change in learning physics. The efforts made through this research is to implement conceptual change learning model that consists of two phases, namely phase I and phase II. Results seen in Phase I are the conceptions of these students are already in the form of a scientific concept, the average proportion of students' scientific conception is as much as 43.00%. However, most of these students' conceptions still labeled as misconceptions 56.48% (16 people). In addition, it was revealed several types of students to the material conception of temperature and heat of the I which includes temperature and equality thermometers, expansion of substances, and changes in states of matter in phase I. The implications of the implementation of the learning process with conceptual change learning model is exposed to some type of student conceptions of the same material at the end of phase I. The result, the percentage of scientific conceptions of students increased to 53.97% while the misconception of students was reduced to 24.51% (5 people) at the end of phase I. This shows change student misconceptions of 68.00% of the initial phase I through the end of phase I. Although there has been considerable change misconceptions, according to the minimum requirement of entry threshold is 60%, but the change is still relatively small. This is because there are still obstacles to the implementation of the learning model of conceptual changes in phase I. this is the necessary repairs to the problems and constraints encountered as follows. First, the change in mindset and behavior will be difficult to occur in individuals who are inert, so that attitudes such as waiting for the teacher's instructions, and the habit of hearing the lecture is still the dominant visible at the time of learning with the application of conceptual change learning model. This obstacle could improve by greater emphasis on contextual concepts in students, and a closer relationship with students. Second, students who are active dominant only person that is all. This is because it is impossible to ask all students to voice their opinions one by one in response to the problems presented. As a result, the temperature measurement object with a pointed demonstration conducted in a representative group to do so. Third, the one that owned by the students is still limited. Students become less than optimal in preparation of materials to given before learning takes place. However, researchers have informed that the material will studied at the next meeting. In addition, researchers facilitate the students by providing a text description of the denial that contains material that will studied on that day. Based on the improvements that have done, then in phase II obtained an increase in the percentage change of students' misconceptions of 82.35%. The results of data analysis in Phase II misconceptions students showed that before the students got a lesson about the temperature and heat part II, students have had conceptions associated with the concept. Conceptions students have had a scientific concept; the average percentage of students' scientific conception is as much as 67.63%. However, some students’ conceptions still labeled misconception, misconceptions percentage of students is as much as 53.86% (17 people). Having given the learning process with conceptual change learning model, then at the end of phase II revealed several types of student conceptions for the same material. The results, the percentage of students’ scientific conceptions to 48.76%, while the misconceptions students to be 9.67% (4 people). This indicates change misconceptions of 80.00%. These results indicate there has been a great misconception change despite the application of conceptual change learning models have not been able to remediated of students misconceptions to100%, but this research is successful because it exceeds the proportion of changes that occurred have exceeded the minimum requirement of entry threshold 60%. The findings are consistent with the results of research conducted by Mariawan (2002), in his research entitled "Application of a conceptual change strategy with a realistic approach in teaching science (physics) to reduce students misconceptions in class II of Junior High School LAB IKIP Negeri Singaraja". The results showed that through the application of conceptual change strategies with a realistic approach can increase the proportion of students who have a scientific conception and can reduce the proportioned students who misconceptions. This matching its seen in research conducted by Widiarini (2010), in his research entitled "Application of a Conceptual Change Learning Model to Remediated Misconceptions, Increase Understanding of Physics Concepts, and Learning Outcomes of High School Students" who found that students enjoy participating in the learning with the conceptual change model. This suggests that the learning of physics by applying the conceptual change model of learning is very suitable to applied; it gets a positive response from students. Based on the description of the results of these studies obtained a satisfactory outcome to the application of Learning Model Conceptual Change as an effort to change misconceptions, increase productive habit of mind X2 graders SMA Negeri 2 Singaraja school year 2010/2011. However, during the process of implementation in the classroom is concerned, there are some constraints or deficiencies encountered during the process of learning physics with application of Conceptual Changes Learning Model in this study, as already explained above. In addition to analyzing of misconceptions remediated, the implementation of this conceptual change-learning model also seeks to increase productive habit of mind, and to know the students' responses to conceptual change learning model. Data collected of productive habit of mind using questionnaires given to students at the end of phase II. Based on the analysis of the questionnaire scores, obtained an average score of students at 83.78 with a standard deviation of 7.87, and are on a productive category. Habituation productive thinking this may influence students' understanding of concepts. This finding is consistent with the results of research conducted by Sulindawati (2009) of "authentic assessment-based learning management and learning styles as well as its influence on the perception of positive and productive student thinking habituation". The results suggest that habituation productive thinking influenced by the style of learning that lead to the understanding of the concept. Student responses obtained from questionnaires at the end of phase II, which consists of 20 items of positive and negative statements. The purpose of the questionnaire responses is to describe student responses to the application of conceptual change learning models in learning physics in the classroom X2 SMA Negeri 2 Singaraja. Based on the analysis has been conducted on the responses given students found that the responses students gave an average score of 84.78 and is on the positive category. Students agree and pleased with the application of conceptual change learning model during the learning process of physics, because it is not boring. CLOSING Conclusion Based on the results of research and discussion that has been described in the previous Chapter, I can conclude a few things, namely, conceptual change learning model is applied by using a strategy of denial, followed by cognitive conflict, and his denial is in the form of demonstrations, analogies, confrontational, counterexamples. Application of conceptual change learning model can change students’ misconceptions X2 class SMA Negeri 2 Singaraja school year 2010/2011. It cans see from the average percentage change of students' misconceptions of the phase I amounting to 68.00% and the second phase to be 80.00%. Application of the conceptual change-learning model can improve students' habit of mind in physics X2 class SMA Negeri 2 Singaraja school year 2010/2011. It can see from the results of the questionnaire showed an average value of 83.78. Student responses to the application of conceptual change learning model in the X2class SMA Negeri2 Singaraja school year 2010/2011 in learning Physics is in the positive category. The advice Conceptual change learning model can applied in the classroom during the learning process by giving the dish the questions that contextual and conceptual thinking to arouse students' activities. In addition, the conceptual change-learning model can applied in the form of reputational text. Reputational text that serves as a student-learning source. Designing good preparation for teaching in accordance with the stages of conceptual change learning model referenced or developed, such as serving conceptual and contextual issues, the selection of teaching materials that correspond to conceptual change learning model. It can optimize the ability of students. REFERENCES Arikunto, S. 2005. Dasar-dasar evaluasi pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara Aryulina, D. 2004. Identifikasi pengetahuan awal siswa sebagai dasar pengembangan buku ajar biologi tematik kontruktivistik. Forum kependidikan, 24, 14-24. Terdapat pada http://Forum kependidikan.com mpembelajaran-sains-di-sekolah/. Diakses tanggal 3 September 2010. Aufschnaiter, C & Rogge, C. 2010 Misconception or missing conception? Jurnal of Mathematics, Science & Technology Education, 6(1), 3-18. Terdapat pada http://www.ejmste.com/v6n1/ eurasia_v6n1.pdf. Diakses tanggal 3 September 2010. Baser, M. 2006. Effect of conceptual change oriented instruction on student’ understanding of heat and temperature concept. Journal of Maltase Education Research, 4(1): 64-79. Diakses tanggal 3 September 2010. Cakir, M. 2008. Constructivist approaches to learning in science and their implications for science pedagogy: A literature review. International Journal of Environmental & Science Education, 3(4), 193-206. Terdapat pada http://www. ijese. com/. Diakses tanggal 3 September 2010. Chin, C. 2007. Teacher questioning in science classrooms: approaches that stimulate productive thinking. Journal of Research in Science Teaching, 44 (6), pp. 815–843. Terdapat pada http://www.www. interscience.wiley.com. Diakses tanggal 3 September 2010. Costu, B., Ayas, A., & Niaz, M. 2010. Promoting conceptual change in first year students understanding of evaporation. Journal Chemistry Education Research and Practice, 11, 5-16. Terdapat pada www.rsc.org cerp. Diakses tanggal 3 September 2010. Dahar, R.W. 1989. Teori-teori belajar. Jakarta: Erlangga. Depdiknas. 2004. Sains, materi pelatihan terintegrasi. Jakarta: Pusat Kurikulum. Dole, J. A. & Sinatra, G. M. 1998. Reconceptualizing change in the cognitive construction of knowledge. Educational Pysichologist, 33(2/3), 109–128. Terdapat pada http://www.ejmste.com. Diakses tanggal 3 Oktober 2010. Gönen, S. 2008. A study of student teachers’ misconceptions and scientifically acceptable conceptions about mass and gravity. Journal of Science Education and Technology, 17: 70-81. Diakses tanggal 23 April 2010. Halimah, I. 2007. Pembelajaran berwawasan kemasyarakatan. Jakarta: Universitas Terbuka. Hewson, P. W. 1992. Conceptual change in science teaching and teacher education. Paper. Presented at a meeting on “research and curriculum development in science teaching” Ministry for Education and Science. Madrid, Spain, June 1992. Ipek, H., & Calik, M. 2008. Combining different conceptual change methods within four-step constructivist teaching model: A sample teaching of series and parallel circuits. International Journal of Environmental & Science Education, 3(3), 143-53. Terdapat pada http://www. ijese. com/. Diakses tanggal 3 September 2010. Küçük, M., Çepni, S., Gökdere, M. 2005. Turkish primary school students’ alternative conceptions about work, power, and energy. Journal of Physics Teacher Education Online. 3 (2), 22 – 28. Terdapat pada www. phy.ilstu.edu/jpteo. Diakses tanggal 1 Oktober 2010. Liao, Y.W., & She, H. C. (2009). Enhancing eight grade students' scientific conceptual change and scientific reasoning through a web-based learning program. Journal of Educational Technology & Society, 12 (4), 228–240. Terdapat pada//linyin1001@yahoo.com.tw//hcshe @ mail.nctu.edu.tw. Diakses tanggal 1 Oktober 2010. MacKinnon, G., & Saklofske, J. 2010. Mapping conceptual change: A unique approach for measuring the impact of virtual learning. Ubiquitous Learning: an International Journal, 2(2), 77-86. Terdapat pada http://ijq. cgpublisher.com/. Diakses tanggal 1Oktober 2010. Marzano, R. J. 1992. A Different kind of classroom: Teaching with dimensions of learning. Alexandria, Verginia: ASCD. Novak, J. D., & Gowin, D. B. 1984. Learning how to learn.USA: Cambridge University Press Nur, M., & Retno, W. 2000. Pengajaran berpusat pada siswa dan pendekatan kontruktivis dalam pengajaran. Surabaya: UNESA. Nurkancana, W., & Sunartana, P.P.N. 1990. Evaluasi hasil belajar. Surabaya: Penerbit Usaha Nasional. Özdemir, G., Clark, D. B. 2007. An overview of conceptual change theories. Eurasia Journal of Mathematics, Science & Technology Education, 3(4), 351 – 361. Terdapat pada http://www. ijese. com/. Diakses tanggal 3 September 2010. Pabuçcu, A. & Geban, Ö. 2006. Remediating misconceptions concerning chemical bonding through conceptual change text. H.U. Journal of Education, 30. pp. 184 – 192. Terdapat pada http://www.ejmste.com/ 30pp / eurasia_30pp.pdf. Diakses tanggal 3 September 2010. Sadia, I W. 1997. Efektivitas strategi konflik kognitif dalam mengubah miskonsepsi siswa (suatu studi kuasi eksperimental dalam pembelajaran konsep energi, usaha, dan gaya di SMU Negeri 1 Singaraja). Laporan Penelitian (tidak diterbitkan). STKIP Singaraja. Santyasa, I W., Suardana, K., Tantris, N K., Suarti, N N., & Paryawati, N P. 2008. Penerapan model ICI untuk perbaikan miskonsepsi dan hasil belajar fisika siswa SMA. Jurnal Ikatan Keluarga Alumni Undiksha Singaraja, 6(2): 13-30. Sa’ud, U. S. 2008. Inovasi pendidikan. Bandung: Alfabeta. Sukardi. 2003. Metodologi penelitian pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara. Sulindawati, E. N. L. G. 2009. Manajemen pembelajaran berbasis assesmen otentik dan gaya belajar serta pengaruhnya terhadap persepsi positif dan pembiasaan berpikir produktif mahasiswa dalam pembelajaran akuntansi keuangan I. Tesis (tidak diterbitkan). Program Studi Administrasi Pendidikan Program Pasca Sarjana Undiksha. Suyatno. 2009. Menjelajah pembelajaran inovatif. Sidoarjo: Masmedia Buana Pustaka. Suparno, P. 2005. Miskonsepsi dan perubahan konsep dalam pendidikan fisika. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia. Widiarini, P. 2010. Penerapan Model pembelajaran perubahan konseptual sebagai upaya remidiasi miskonsepsi dan meningkatkan pemahaman konsep Fisika Siswa Kelas X2 SMA Negeri 1 Seririt Tahun Ajaran 2009/2010. Skripsi (tidak diterbitkan). Jurusan Pendidikan Fisika FMIPA Undiksha. Winataputra, U. S. 2007. Teori Belajar Pembelajaran. Jakarta: Universitas Terbuka.

Sabtu, 10 Desember 2011

DISDIKPORA PROVINSI BALI PERINGATI HARI AKSARA INTERNASIONAL KE-46 DI KABUPATEN TABANAN AKSARA MEMBANGUN PERDAMAIAN DAN KARAKTER BANGSA

DISDIKPORA PROVINSI BALI PERINGATI HARI AKSARA INTERNASIONAL KE-46 DI KABUPATEN TABANAN AKSARA MEMBANGUN PERDAMAIAN DAN KARAKTER BANGSA Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan PBB (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization, disingkat UNESCO) merupakan badan khusus PBB yang didirikan pada 1945. Tujuan organisasi adalah mendukung perdamaian dan keamanan dengan mempromosikan kerja sama antar negara melalui pendidikan, ilmu pengetahuan, dan budaya dalam rangka meningkatkan rasa saling menghormati yang berlandaskan kepada keadilan, peraturan hukum, HAM, dan kebebasan hakiki. Salah satu program UNESCO adalah membrantas buta aksara, dan Indonesia sendiri mendapat apresiasi positif terhadap penanganan buta aksara tersebut. Khususnya di Bali, untuk memperingati hari aksara Internasional Kadisdikpora Bali melaksanakan pameran keaksaraan fungsional tepatnya di Gedung Mario Kabupaten Tabanan pada rabu (7/12). Acara ini dihadiri oleh, Kadisdikpora Bali, Bupati Tabanan, Ketua DPRD Tabanan, Ketua LPM Undiksha, Kabid PNFI Bali, dan Kadisdikpora Buleleng. Peringatan kali ini juga mengundang UPT SKB dan PKBM se Bali, baik untuk menghadiri hajatan insan/lembaga penyelenggara keberaksaraan dan pendidikan kesetaraan dan juga mengisi stand pameran yang dilaksanakan pada hari tersebut. Acara dimulai pada pk. 09.00 wita, diawali denagn pementasan tari Sekar Jagat, dilanjutkan dengan menyanyinyikan lagu Indonesia Raya, Mars wajib belajar. Selanjutnya adalah laporan dari ketua panitia kegiatan Wayan Sudarsana Kabid PNFI provinsi Bali. Pada laporannya, Sudarsana mengatakan bahwa tama dari acara hari itu adalah “aksara membangun perdamaian dan karakter bangsa”, dengan sub tema “melalui peringatan hari aksara internasional ke-46 kita tingkatkan kualitas manusia yang berkarakter dan berbudaya damai”. Menurut Sudarsana, buta aksara terkait dengan kebodohan, kemiskinan, dan ketidakberdayaan. Oleh karena itu UNESCO mengeluarkan program tentang tanggungan putus sekolah. “Kasus buta aksara di Bali untuk masyarakat yang berusia 15 - 44 tahun mencapai 49.385 orang, dan umur 45-ke atas mencapai 284.821 orang”, tegas Sudarsana. Hal yang senada juga disampaikan oleh Bupati Tabanan Ni Putu Eka Wiryastuti dalam sambutannya ketika menghadiri peringatan hari aksara internasional tersebut. Menurut Eka, aksara sangat penting dalam kehidupan, karena aksara dapat membangun kehidupan bangsa, mencerdaskan, dan berpikir untuk menerima segala teknologi. “jika kita hanya mengrti arti buta aksara, tapi tidak meyakini untuk memberantasnya, maka tentu hanya sebagai wacana saja”, ujar Eka. Selain, itu Kadisdikpora Provinsi Bali Drs. Ida Bagus Anom, MPd. yang pada kesempatan itu mewakili Gubernur Bali, dalam sambutannya mengatakan bahwa amanat UUD’45 pendidikan adalah hak setiap warga Negara, dan disertai upaya perbaikan kualitas pendidikan. Oleh karena itu, untuk memberantas buta aksara pemerintah sudah menjalankan program wajib belajar 9 tahun. “Pemberantasan buta aksara sudah mengalami peningkatan sebanyak 0,23% (dari 2,8% menjadi 2,63%”, tegas Bagus Anom. Diakhir sambutannya Bagus Anom berpesan kepada kita semua, bahwa sesungguhnya kita terlahir dan terbentuk dari berbagai aksara. “Jadi setiap insan tidak boleh buta aksara”, pungkas Bagus Anom. Pada kesempatan yang sama TPI juga sempat mewawancarai Kadisdikpora Buleleng Drs. I Gede Suyasa, M.Pd. satu-satunya Kadisdik yang hadir pada acara tersebut menyambut positif peringatan hari aksara internasional kali ini. Menurut Suyasa, peringatan ini bertujuan agar kita mengingat bahwa di Bali, khususnya di Buleleng masih ada masyarakat yang masih buta aksara. “Kegiatan pemberantasan buta aksara di Buleleng pada tahun 2010/2011 difokuskan untuk usia diatas 44 tahun, dan kami sudah melaksanakan kegiatan tersebut dengan bekerjasama dengan pihak Undiksha”, ujar Suyasa. Acara kemudian dilanjutkan dengan acara hiburan yang terdiri dari, pementasan tari Puspa Hredaya oleh pemenang Jambore 2011 tingkat nasional (duta Kabupaten Karangasem), dilanjjtkan dengan pementasan tari Topeng dari Kabupaten Gianyar, kunjungan Kadisdikpora Bali ke stand pameran, dan demonstrasi peserta pameran. Diakhir acara, Bagus anom juga mengikuti acara hiburan yaitu hiburan Joged, dan “ngibing” dengan penuh ekspresi, sehingga tepuk tangan penonton sangat gemuruh membelah angkasa. Semoga pemberantasan buta aksara ini tidak hanya sekedar wacana, dan benar-benar dilaksanakan. (rvn)

PKBM WIDYA AKSARA BANJAR KEJAR PAKET C NUSA INDAH TIGAWASA IKUTI PERINGATAN HARI AKSARA INTERNASIONAL KE-46 PACU PRESTASI, AJEGKAN BUDAYA LOKAL

PKBM WIDYA AKSARA BANJAR KEJAR PAKET C NUSA INDAH TIGAWASA IKUTI PERINGATAN HARI AKSARA INTERNASIONAL KE-46 PACU PRESTASI, AJEGKAN BUDAYA LOKAL Jika mendengar kata aksara, maka perhatian kita akan tertuju pada huruf dan angka. Kemampuan baca-tulis dianggap penting karena melibatkan pembelajaran berkelanjutan oleh seseorang sehingga orang tersebut dapat mencapai tujuannya, dimana hal ini berkaitan langsung bagaimana seseorang mendapatkan pengetahuan, menggali potensinya, dan berpartisipasi penuh dalam masyarakat yang lebih luas. Untuk memperingati hari aksara internasional, Kadisdikpora Buleleng menggelar acara pameran keterampilan yang merupakan hasil kreativitas dari warga belajar pendidikan non formal pada rabu (7/12). Acara ini bertepat di Gedung Mario Kabupaten Tabanan, dengan peserta pameran dari SKB dan PKBM se-Bali. Tampak juga hadir Kadisdikpora Bali, Bupati Tabanan, Ketua DPRD Tabanan, Ketua LPM Undiksha, Kabid PNFI Bali, dan Kadisdikpora Buleleng. Buleleng mengirimkan duta kerajinan dari PKBM Widya Aksara Banjar, SKB Buleleng, PKBM, PKBM Sudaji, dan PKBM Hasta Kria Buleleng. Tetapi untuk Demonstrasi dipilihlah warga belajar dari PKBM Widya Aksara Banjar yang akan mendemonstrasikan membuat kerajinan anyaman bambu. Ditemui oleh TPI (7/12) pada saat kegiatan, pengelola PKBM Widya Aksara Banjar Kejar Paket C Nusa Indah, Nyoman Hartawan, S.E mengatakan bahwa acara ini merupakan acara rutin setiap tahunnya, hanya tempanya yang digilir. “saya selaku pengelola sangat bangga pada warga belajar yang sudah mengembangkan kreativitasnya”, ujar Hartawan. Hal yang senada juga disampaikan oleh penyelenggara Kejar Paket C Nusa Indah Ni Luh Ayu Marheni, S.Pd.SD., menurut Marheni, warga belajar yang demonstrasi tersebut adalah Ni Ketut Ari Sudesi, Ni Putu Lilik Rahayuni, dan Komang Sumardiasa. “Mereka adalah siswa yang kreatif dan produktif dalam berkarya, karena selain di sekolah mereka juga menghasilkan kerajinan untuk dipasarkan”, tegas Marheni. Ketika berkunjung ke stand pameran, Kadisdikpora Provinsi Bali Wayan Sudarsana sempat memberikan apresiasi kepada warga belajar yang demonstrasi. Selain itu apresiasi juga diikuti oleh pengunjung lainnya seperti Ketua LPM Undiksha (Prof. Kt Suma), dan Kadisdikpora Buleleng (Drs. I Gede Suyasa, M.Pd.), sehingga stand pameran dari buleleng banyak dikunjungi oleh pengunjung. Bahkan ada juga pengunjung yang membeli kerajinan bambu milik PKBM Widya Aksara. Diakhir perbincangan dengan TPI, Hartawan berharap agar ke depannya kreativitas warga belajar di PKBM Widya Aksara dapt diperhitungkan, sehingga nantinya kebudayaan lokal seperti kerajinan anyaman bamboo tetap ajeg dan tak kan lekang. “ Saya selaku pengelola sangat bangga dengan semangat warga belajar untuk berkarya dan berprestasi, mengingat motto sekolah adalah praja wira karya”, pungkas Hartawan. (rvn)