Kamis, 15 Maret 2012

DESA TIGAWASA GELAR ACARA PASRAMAN REMAJA JUNJUNG TINGGI BUDAYA LOKAL

Kuatnya pengaruh dunia media, khususnya media televisi di kalangan remaja begitu kuat mencekoki kebiaasaan remaja dewasa ini. Sajian hiburan televisi cenderung membuat mereka apatis terhadap warisan budaya lokal. Hal ini ditambah dengan rasa sayang berlebihan orang tua membiarkan remaja bersikap malas dan konsumtif. Menyikapi hal tersebut kehadiran Pasraman di tiap Desa Pakraman cukup efektif memberi pembelajaran guna merebut hati remaja peduli dan paham akan nilai warisan budaya lokal. Seperti halnya yang dilaksanakan oleh sebuah desa bali aga di kecamatan Banjar yaitu Desa Tigawasa. Desa Tigawasa melaksanakan pasraman remaja selama 2 bulan yang pembukaanya dilaksanakan pada senin (2/1). Kegiatan ini diketuai oleh I Made Murtika selaku kepala desa Tigawasa, Sekretaris I Ketut Arjasa, Bendahara Putu Aryana Putra, dan I Komang Ariosika, S.Pd., Ni Kadek Purnami sebagai anggota. Menurut Arjasa yang ditemui oleh TPI pada sabtu (25/2), pasraman dilakukan setiap hari sabtu dan minggu. “saya berharap agar remaja-remaja yang mengikuti kegiatan ini bisa memanfaatkan apa yang didapat dari pasraman dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat memaknai apa makna belajar sesungguhnya”, ujar Arjasa. Menurut konsep Hindu, proses belajar itu sepanjang hidup. Dari masa brahmacari, grhasta, vanaprastha sampai sanyasin asrama. Dalam konteks kekinian, masa brahmacari asrhama itu diimplementasikan ke dalam aktivitas pendidikan formal dari jenjang pendidikan TK, SD, SMP, SMA hingga perguruan tinggi. Namun, pendidikan formal itu saja belum cukup lantaran “kemasannya” cenderung dititikberatkan pada penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Lantas, bagaimana konsep pesraman untuk manusia Hindu yang berusia pra-remaja/remaja atau bagi mereka yang sudah mengenyam pendidikan SLTP dan SMU? materi pelajaran tetap harus dititikberatkan pada bidang agama dan pengenalan budaya Bali. Namun, materinya jelas harus diperluas. misalnya kalau di pesraman anak-anak mereka hanya diajari ngulat tipat dan klakat, maka di pesraman lanjutan itu mereka sudah diajari membuat aci-aci upacara yang lebih kompleks seperti membuat aneka macam caru serta bebantenan yang lebih rumit. Jelas harus ada perkembangan dari materi-materi yang diajarkan di pesraman untuk anak-anak SD. Hal ini sesuai dengan tema yang diusung oleh desa Tigawasa dalam melaksanakan pasraman kali ini yaitu, “malarapan pasraman remaja ngiring ajegang adat lan budaya Baline”. Pasraman remaja yang dilaksanakan oleh desa Tigawasa ini sangat direspon positif oleh seluruh warga desa, khususnya para remaja. Sebut saja namanya Vera Setianingsih yang merupakan peserta pasraman. Vera mengaku dirinya mendapat wawasan pengetahuan setelah mengikuti pasraman remaja ini. “saya dan eman-teman sangat antusias mengikuti kegiatan ini”, tegas Vera. Arjasa juga mengatakan bahwa pada pasraman remaja ini, peserta diajarkan beberapa materi terkait budaya bali diantaranya adalah Budi Pekerti (dengan tutor I Ketut Arjasa, S.Pd.SD), Tatwa (dengan tutor Putu Wirata, S.Pd), Fatologi Remaja (Ketut Arbawa), Darmagita (Ketut Suartika S.Pd.), Nyastra (Putu Rubiantika, S.Pd.B), Ketrampilan (Ketut Sudaya., Jro Km. Periastini), Yoga Asana (Luh Ayu Marheni, S.Pd.SD). Arjasa menambahkan bahwa penutupan pasraman remaja akan dilaksanakan melalui tirta yatra ke Pura Besakih tepatnya pada minggu (1/4). Diakhir perbincangan dengan TPI, arjasa mengatakan bahwa manusia Bali pada umumnya dan remaja tigawasa pada khususnya, sudah sewajarnya menjunjung tinggi budaya local, dan menerima pengaruh globalisasi dengan bijak. Dengan bekal pengetahuan agama generasi muda diyakini dapat memahami dan mencintai peradaban agama Hindhu miliknya, tidak terpengaruh pada budaya asing yang tidak cocok dengan kepribadian dan budaya Bali. Agama Hindhu di masa lalu kini perlu dibangkitkan untuk diaplikasikan prakteknya dalam pengamalan agama saat ini, sehingga pelaksanaan ritual agama tidak bersifat dogma, kaku dan mule keto. (rvn)