Rabu, 10 Maret 2010

ceritadibaliklembah

TIGAWASA, DESA BALI PURWA YANG EKSOTIK


Tigawasa adalah sebuah desa tua “Bali Aga”, tepatnya di Kecamatan Banjar Kabupaten Buleleng. Nama desa ini sangat erat hubungannya dengan kedatangan seorang Rsi bernama Rsi Markandeya ke Bali, yang konon membawa anak buahnya “wong Age” dari Gunumg Rawung. Menurut Lontar Markandeya Wong Age inilah yang menetap di Bali hingga sekarang, yang tersebar di daerah seluruh Bali, misalnya, Tigawasa sendiri, Cempaga, Sidetapa, Pedawa, Sembiran, Trunyan, Batur dan sebagainya.

ASAL KATA
Kata Tigawasa berasal dari dua versi, yaitu yang pertama berarti, Tiga Kuasa atau Tiga Tempat ( tempat yang dimaksud adalah: Munduk Taulan, Pememan dan Kayehan Sanghyang). Sedangkan arti kata yang kedua adalah, Tiga Was atau tiga kali pergi ( maksudnya adalah tiga kali pergi untuk membuat desa, tempat yang pertama adalah di Sanda, kedua Pangus dan yang terakhir tempat dimana saat ini merupakan pusat desa.
BATAS WILAYAH
Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Kayu Putih Melaka
Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Pedawa
Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Cempaga
Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Kaliasem dan Temukus.

KEBUDAYAAN
Bahasa
Bahasa yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat di daerah Tigawasa adalah bahasa pedalaman yaitu bahasa yang sudah ada sejak wong Age sendiri masuk ke daerah Bali. Bahasa ini disebut bahasa Tigawasa dimana vokal bahasanya kebanyakan memakai vokal ‘a’, yang mirip dengan bahasa Jawi dan Melayu kuno. Misalnya saja dalam bahasa Indonesia,”mau kemana?”, dan dalam bahasa Tigawasa, “kal kejapa?”. Masih banyak lagi istilah-istilah dalam bahasa Tigawasa yang mungkin tidak bisa dimengerti oleh masyarakat Bali kebanyakan.



Pura
Menurut Kt. Sudaya yang merupakan sesepuh desa Tigawasa orang Bali Age tidak memiliki Pura Dalem, begitu juga dengan Desa Tigawasa. Desa Tigawasa hanya memiliki Pura Desa, Pura Segara dan pura Gedong Besakih yang merupakan pengayatan dari Pura Besakih. Kenapa tidak memiliki pura dalem? Karena sudah dirangkul dan dijadikan satu dengan Bale Agung atau Pura Desa, sehingga orang-orang yang suka dengan ilmu gelap akan musnah ketika menginjakkan kaki di desa Bali Purwa ini.
Kepercayaan
Masyarakat di desa Tigawasa percaya dengan adanya upacara “ngulapin”, tetapi upacara ini dilakukan di kamar suci dan bisa juga di tempat tidur. Istilah ngulapin ini dikenal dengan istilah” Ngidih Yeh Base”. Upacara ini diemong oleh Balian yang sudah terkenal mumpuni di bidangnya. Kepercayaan yang lainnya adalah saat penguburan mayat. Masyarakat desa mengenal suatu kepercayaan dimana, orang yang meninggal pada hari itu juga langsung dikubur dan harus dimandikan dengan air sembung, karena sekte yang masih dianut adalah sektu Sambu. Selain kepercayaan memandikan mayat dengan air sembung, masyarakat desa juga memiliki suatu kepercayaan dimana, mayat harus dinyanyikan dengan teriakan-teriakan yang menyayat hati, yang diistilahkan dengan istilah ”Ngelenjatang”, hal ini dimaksudkan untuk memisahkan badan halus dan kasar. Mayat yang dikubur tidak memakai peti tetapi langsung dibungkus dengan tikar dan hanya dibekali ”nasi bawang ajembung”.

Peninggalan
Peninggalan-peninggalan bersejarah yang dapat ditemui di desa Tigawasa adalah, diantaranya, Sarkofagus yang ditemui di ketiga tempat yang pernah di pakai berkuasa (tadi sudah disebutkan ketiga tempat tersebut adalah, Munduk Taulan, Pemaman dan Kayehan Sanghyang). Selain itu juga ditemukan semacam batu yang disebut Lingga Yoni, Gua Slonding dan sebuah Slonding.

Seni
Masyarakat desa Tigawasa mengenal seni anyaman bambu yang dikenal dengan istilah Sokasi atau Keben, ini merupakan mata pencaharian masyarakat terbesar di desa Tigawasa. Selain itu adalah seni membuat Bedeg atau di Tigawasa sering disebut dengan Sedang. Tetapi setelah zaman penjajahan Jepang, Jepang mengkolaborasi kebudayaan seninya dengan seni membuat bedeg Tigawasa, sehingga sampai saat ini bedeg hasil kolaborasi tersebut dikenal dengan “Bedeg Semeri”
























KEINDAHAN ALAM










Pemandangan laut yang dapat dilihat dari Dusun Konci, Desa Tigawasa


Kota Singaraja yang dapat dilihat dari Dusun Pangus Sari, Desa Tigawasa

Fenomena alam yang dapat dilihat ketika baru memasuki Desa Tigawasa


Hutan Bambu, yang digunakan sebagai bahan untuk membuat seni anyaman bambu.

Created by : Hervina Sanjayanti









Menelusuri Kehidupan Desa Bali Age
BULELENG memiliki banyak desa tua yang berderet di dataran tinggi Kecamatan Banjar dan Tejakula. Di Banjar terdapat Desa Sidatapa, Pedawa, Cempaga, Tigawasa dan Banyusri. Di Tejakula masih berdiri dengan unik Desa Sembiran, Julah dan desa lain yang masih berkaitan erat dengan desa-desa tua di Kabupaten Bangli.
Sebagai desa yang bernilai sejarah, tentu saja desa tua ini punya banyak tradisi budaya yang khas, yang patut dipertahankan, bukan semata-mata untuk kepentingan pariwisata, tetapi lebih jauh sebagai aset untuk menelusuri sejarah masa lalu. Masa lalu yang jadi cermin di masa depan. Begitulah yang dilakukan warga Desa Sidatapa --salah satu desa tua -- di Kecamatan Banjar.
Memasuki Desa Sidatapa di Kecamatan Banjar, Buleleng, rasanya seperti menyelinap ke dalam sebuah lukisan indah tentang kehidupan Bali masa lalu. Suasana hutan yang sejuk dan jalan setapak yang dikitari gugusan semak dan pepohonan besar senantiasa menawarkan suasana alam yang meski terkesan liar, namun memberi rasa teduh dan damai. Apalagi ketika masuk ke pemukiman, suasana kehidupan yang polos dan bersahaja tergambar dari gerak-gerik masyarakatnya yang sedikit dingin namun tingkahnya menunjukkan bahwa warga Sidatapa adalah sekelompok warga yang ramah, gampang bersahabat dan mudah diajak bicara.
Desa Sidatapa merupakan salah satu dari deretan desa kuno yang hingga kini masih tersisa di belahan Bali Utara. Orang menyebutnya Desa Bali Mula atau Bali Aga, sebuah desa yang sudah memiliki otonomi sosial-budaya sebelum Kerajaan Majapahit menancapkan kekuasaannya di Bali. Memang, tak begitu banyak bukti yang bisa menjelaskan secara rinci sejarah desa di ketinggian 500 meter dari atas permukaan laut itu.
Selain cerita sejarah yang dituturkan dari generasi ke generasi, satu bukti penting yang menjelaskan keberadaan desa kuno ini adalah rumah adat yang memang terkesan tua alias kuno. Namun, jika ingin melihat rumah kuno itu secara leluasa, tak cukup dengan hanya menelusuri jalan kecil pedesaan yang sejuk itu. Selain langka, rumah tua itu tidak dibangun menghadap ke jalan sebagaimana rumah modern saat ini. Rumah khas itu dibangun membelakangi jalan sehingga keberadaan cukup tersembunyi.
Banyak cerita unik bisa digambarkan dari keberadaan rumah tua itu yang tentu saja berhubungan erat dengan perjalanan sejarah Bali Kuno secara keseluruhan. Namanya juga rumah kuno, bahan bangunannya tentu sangat bergantung pada alam. Lantai dan temboknya dari tanah, atapnya daun kelapa, tiang, jendela dan perangkat lainnya dibuat dari bambu batangan atau anyaman bambu.

Yang unik, seluruh bagian ruang rumah tua ini ternyata merangkum semua kehidupan sosial, ekonomi, spiritual, budaya dan keamanan, dari masing-masing keluarga di desa tersebut. Artinya, seluruh kegiatan keluarga dilakukan dalam satu rumah yang memang cukup luas. Jika di Padang, Sumatera Barat, rumah adatnya bernama Rumah Gadang, rumah di Sidatapa juga punya sebutan bagus. I Wayan Ariawan, seorang tokoh muda Sidatapa yang memiliki minat besar untuk melestarikan rumah peninggalan leluhurnya itu, mengatakan bangunan kuno di Sidatapa itu bernama Bale Gajah Tumpang Salu. Bale berarti rumah, gajah menunjukkan simbol dari bangunan yang bertiang empat dalam setiap bagiannya, tumpang berarti tingkat dan salu bermakna tiga. Lengkapnya bisa disebut sebagai rumah besar yang terdiri atas tiga bagian.
Tiga bagian rumah ini memiliki fungsi sosial, ekonomi, spiritual dan budaya yang menjadi satu-kesatuan yang utuh dan saling berhubungan. Bagian utama (utamaning mandala), bagian tengah (madyaning mandala) dan sisi luar (nistaning mandala). Bagian utama dijadikan tempat persembahyangan, tidur, makan, serta tempat menyimpan alat-alat upacara, busana adat, pusaka, emas dan kekayaan lainnya. Bagian tengah digunakan untuk melakukan kegiatan sehari-hari, seperti memasak dan melakukan upacara adat dan upacara keagamaan. Nista mandala adalah daerah luar, lokasi khusus sebagai tempat menerima tamu. Jadi, sejumlah warga mengatakan, rumah tua itu bisa dianggap sebagai pura atau merajan sekaligus sebagai tempat tinggal.
Kenapa rumah ini dibangun membelakangi jalan? Kisahnya bisa dimulai dari penyerangan pasukan Majapahit ke Bali beratus-ratus tahun lalu. Sejumlah tokoh warga menceritakan, setelah terjadi penyerangan dari pasukan Majapahit, warga Bali Aga itu mengalami semacam trauma. Ada semacam ketakutan sehingga berupaya menyembunyikan diri dan segala aktivitasnya dengan membuat rumah menghadap ke hilir atau ke belakang.
Selain di Sidatapa, rumah tua juga terdapat di Desa Pedawa yang juga termasuk deretan desa tua di Buleleng. Sayangnya, hingga kini, hanya beberapa saja bangunan bersejarah itu masih berdiri di Sidatapa. Rumah yang berumur ratusan tahun memang harus mengalami perbaikan baru. Kalau tidak, memang harus direlakan untuk rubuh.
Lain halnya lagi dengan desa tetangganya yakni desa Tigawasa, salah satu deretan desa tua ini, memiliki tradisi yang khas yakni pada saat penguburan mayat. Di desa penghasil kerajinan anyaman bamboo ini, tidak mengenal istilah pembakaran mayat. Memang ada upacara ngaben, tetapi tidak di bakar melainkan di kubur. Konon katanya di desa ini menganut kepercayaan dewa Swambu. Acara penguburan mayatnya pun cukup unik, karena mayat tidak di taruh di dalam peti, melainkan hanya dibungkus dengan kain batik, dan di kubur begitu saja. Dan tradisi ini berlangsung secara turun temurun. Semoga tradisi ini tetap dilestarikan, sehingga nama “Bali Age” tetap menjadi icon masyarakat Bali. (HERVINA_PHYSICS)


KEBUDAYAAN ORANG BALI AGA DI DESA TIGAWASA DALAM MEMBUAT ANYAMAN BAMBU BERPOLA
“BEDEG SEMERI”
Oleh:
Ni Putu Ayu Hervina Sanjayanti (013021013)
Jurusan Pendidikan Fisika, Fakultas MIPA
Universitas Pendidikan Ganesha


ABSTRAK
Orang Bali Age tinggal di wilayah pedalaman yang berbukit-bukit. Secara ekologis, mereka sangat tergantung pada alam dan sumber daya hutan serta sistem kebudayaannya pun berbeda dengan orang bali pada umumnya. Orang Bali Aga pada umumnya memiliki beraneka ragam kebudayaan yang sangat unik. Beberapa diantaranya yang termasuk desa bali Age adalah Pedawa, Sidetapa, Cempaga, Tigawasa, Sembiran, Trunyan, Tenganan dan sebagainya, tetapi yang banyak dikaji adalah desa Tigawasa yang terkenal dengan kerajinan anyaman bambunya. Desa ini terletak di Kecamatan Banjar Kabupaten Buleleng.
Disamping letaknya yang sangat setrategis yaitu dilereng perbukitan sehingga panoramanya indah tapi warga Tigawasa sangat kreatif didalam kerajinan anyaman bambu, seperti “bedeg (sedang)” dan “sokasi (keben)”. Bedeg yang dikaji disini adalah bedeg dengan pola “ Bedeg Semeri” Beberapa hal yang menarik dapat dirasakan ketika membaca keseluruhan dari artikel ini, karena kerajinan anyaman bambu yang asli hanya bisa dilihat di Desa Tigawasa.

Kata kunci: Bali Age, Tigawasa, pola bedeg semeri, bedeg, sokasi

PENDAHULUAN
Tigawasa adalah sebuah desa tua “Bali Aga”, tepatnya di Kecamatan Banjar Kabupaten Buleleng. Nama desa ini sangat erat hubungannya dengan kedatangan seorang Rsi bernama Rsi Markandeya ke Bali, yang konon membawa anak buahnya “wong Age” dari Gunumg Rawung. Menurut Lontar Markandeya Wong Age inilah yang menetap di Bali hingga sekarang, yang tersebar di daerah seluruh Bali, misalnya, Tigawasa sendiri, Cempaga, Sidetapa, Pedawa, Sembiran, Trunyan, Batur dan sebagainya.
Tujuan dari penulisan artikel yang membahas tentang budaya ini, tidak lain untuk mengenalkan kepada masyarakat luas, bagaimana sebenarnya kebudayaan purwa di Bali pada umumnya dan Buleleng khususnya.

Kajian Historis
Asal nama
Menurut Ketut Sudaya yang merupakan sesepuh orang Tigawasa, kata Tigawasa berasal dari dua versi, yaitu yang pertama berarti, Tiga Kuasa atau Tiga Tempat (tempat yang dimaksud adalah: Munduk Taulan, Pememan dan Kayehan Sanghyang). Sedangkan arti kata yang kedua adalah, Tiga Was atau tiga kali pergi (maksudnya adalah tiga kali pergi untuk membuat desa, tempat yang pertama adalah di Sanda, kedua Pangus dan yang terakhir tempat dimana saat ini merupakan pusat desa).

Bahasa
Bahasa yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat di daerah Tigawasa adalah bahasa pedalaman yaitu bahasa yang sudah ada sejak wong Age sendiri masuk ke daerah Bali. Bahasa ini disebut bahasa Tigawasa dimana vokal bahasanya kebanyakan memakai vokal ‘a’, yang mirip dengan bahasa Jawi dan Melayu kuno. Misalnya saja dalam bahasa Indonesia,”mau kemana?”, dan dalam bahasa Tigawasa, “kal kejapa?”. Masih banyak lagi istilah-istilah dalam bahasa Tigawasa yang mungkin tidak bisa dimengerti oleh masyarakat Bali kebanyakan.

Kepercayaan
Masyarakat di desa Tigawasa percaya dengan adanya upacara “ngulapin”, tetapi upacara ini dilakukan di kamar suci. Istilah ngulapin ini dikenal dengan istilah ”Ngidih Yeh Base”. Upacara ini diemong oleh Balian atau pemangku yang sudah terkenal mumpuni di bidangnya. Kepercayaan yang lainnya adalah saat penguburan mayat. Masyarakat desa mengenal suatu kepercayaan dimana, orang yang meninggal pada hari itu juga langsung dikubur dan harus dimandikan dengan air sembung, karena sekte yang masih dianut adalah sektu Sambu. Selain kepercayaan memandikan mayat dengan air sembung, masyarakat desa juga memiliki suatu kepercayaan dimana, mayat harus dinyanyikan dengan teriakan-teriakan yang menyayat hati, yang diistilahkan dengan istilah ”Ngelenjatang”, hal ini dimaksudkan untuk memisahkan badan halus dan kasar. Mayat tidak ditaruh di dalam peti tetapi langsung dibungkus dengan tikar dan hanya dibekali ”nasi bawang ajembung”.

Peninggalan
Peninggalan-peninggalan bersejarah yang dapat ditemui di desa Tigawasa adalah, diantaranya, Sarkofagus yang ditemui di ketiga tempat yang pernah di pakai berkuasa (tadi sudah disebutkan ketiga tempat tersebut adalah, Munduk Taulan, Pemaman dan Kayehan Sanghyang). Selain itu juga ditemukan semacam batu yang disebut Lingga Yoni, Gua Slonding dan sebuah Slonding.

Seni dan Budaya
Masyarakat desa Tigawasa mengenal seni anyaman bambu yang dikenal dengan istilah Sokasi atau Keben, ini merupakan mata pencaharian masyarakat terbesar di desa Tigawasa. Selain itu adalah seni membuat Bedeg atau di Tigawasa sering disebut dengan Sedang. Tetapi setelah zaman penjajahan Jepang, Jepang mengkolaborasi kebudayaan seninya dengan seni membuat bedeg Tigawasa, sehingga sampai saat ini bedeg hasil kolaborasi tersebut dikenal dengan “Bedeg Semeri”. Selengkapnya akan lebih dijelaskan pada pembahasan.
METODE PENULISAN

Penulisan Karya Tulis ini menggunakan metode Wawancara dan Kajian Pustaka. Pada metode Wawancara dilakukan dengan mewawancarai beberapa warga desa sebagai narasumber, dan pada metode Kajian pustaka dilakukan dengan menggunakan referensi buku yang relevan serta tidak lupa penulis mencari informasi dari internet.


PEMBAHASAN
Sebagai desa yang bernilai sejarah, tentu saja desa tua ini punya banyak tradisi budaya yang khas, yang patut dipertahankan, bukan semata-mata untuk kepentingan pariwisata, tetapi lebih jauh sebagai aset untuk menelusuri sejarah masa lalu. Masa lalu yang jadi cermin di masa depan.
Dari uraian di atas yang akan lebih banyak dibahas adalah tentang anyaman bambu dengan pola bedeg semeri. Anyaman bambu yang paling terkenal di daerah Tigawasa adalah Bedeg atau bahasa Tigawasanya “sedang” dan Sokasi atau keben dalam bahasa Tigawasa. Bedeg merupakan suatu anyaman bambu yang dapat dimanfaatkan sebagai dinding rumah bagian atas atau lebih dikenal dengan sebutan “tukuban”, sedangkan sokasi merupakan anyaman bambu yang dimanfaatkan sebagai tempat nasi (sokasi putih) ataupun sebagai tempat menaruh banten saat ada upacara keagamaan (sokasi berwarna). Hasil anyaman bambu tersebut merupakan salah satu mata pencaharian utama masyarakat Tigawasa setelah berkebun. Oleh karena itu di daerah Tigawasa banyak terdapat hutan bambu yang bisa dilihat pada gambar yang sudah terlampir.
Sebagai salah satu mata pencaharian yang utama, anyaman bambu sangat digemari berbagai kalangan. Sampai-sampai anak yang baru berumur 5 tahun sudah mulali diajarkan untuk membuat anyaman bambu berupa sokasi oleh ibu mereka. Menurut I Nyoman Oka yang merupakan seorang pengerajin anyaman bambu di desa Tigawasa mengatakan bahwa anyaman bambu yang dibuat oleh penduduk setempat memakai dua pola, yatu pola biasa dan pola bedeg semeri. Yang kebetulan merupakan kajian utama dalam artikel ini.
Sudah dijelaskan sebelumnya bahwa pola bedeg semeri ini merupakan perpaduan antara budaya jepang dengan kebudayaan Tigawasa sendiri, sehingga kebudayaan bedeg Tigawasa ini dikenal oleh penduduk jepang. Cara pembuatan bedeg semeri ini bisa dibilang gampang susah, karena bagi orang yang sudah menggelutinya mungkin akan terbilang mudah, tetapi bagi yang sama sekali tidak tahu apa itu bedeg maka akan dibilang sulit. Sebagai pengerajin yang sudah profesional I Nyoman Oka dengan gamblang mengatakan kalau membuat bedeg sangat mudah dan mtidak memerlukan biaya, dimulai dari mencari alat dan bahan di kebun belakang rumahnya dan memotong bambu serta menipiskan potongan bambu tersebut, sampai menganyamnya. Dia mengaku kalau pekerjaan itu dia lakukan sendiri dan belajar dari almarhum ayahnya yang sudah mewariskan tradisi membuat anyaman bambu bedeg semeri.
Lain halnya dengan Ni Kadek Rides yang merupakan pengerajin sokasi atau keben. Dia mengaku merasa senang sebagai pengerajin sokasi, selain mendapatkan mata pencaharian, dia juga bisa banyak bertemu dan bersosialisasai dengan orang disekitarnya, karena dia bisa membuat anyaman sokasi bersama dengan ibu-ibu lainnya. Ni Kadek Rides sering membuat sokasi dengan pola semeri pula, karena lebih menarik dan penuh tantangan dalam membutnya, karena membuat sokasi yang biasa katanya sudah biasa dan dia ingin membuat yang lebih sulit, yakni yang berpola bedeg semeri. Anyaman sokasi yang berpola semeri ini lebih mengutamakan keunikan anyaman karena dibuat berwarna dan bisa diisi nama atau tulisan pada bagian depannya. Hal itu bisa dilihat pada gambar yang sudah terlampir. Mungkin bagi orang-orang yang tidak mengerti akan berpikir kalau sokasi yang sudah jadi yang diwarna, tetapi tidak seperti itu, melainkan bambu yang masih utuhlah yang dicat kemudian baru dipotong kecil-kecil dan dianyam sesuai keperluan dan selera pemesan. Selain memiliki warna yang menarik, anyaman sokasi berpola semeri ini juga memiliki kekhasan yaitu pada bagian depan sokasi bisa ditambahkan tulisan atau nama si pemilik sokasi, seperti yang tampak pada gambar.
Lain lagi dengan I Made Suarjaya, warga Banjar Dauh Pura, Desa Tigawasa, termasuk salah satu perajin anyaman yang sehari-hari mengandalkan hidup dari menganyam bambu. Hasil menganyam tak saja bisa membiayai keperluan rumah tangganya sehari-hari, namun juga bisa diandalkan untuk membiayai pendidikan tiga orang anaknya. "Dulu, bapak saya juga membiayai sekolah saya dari hasil menganyam, kini saya yang membiayani sekolah anak-anak dengan hasil menganyam," kata Suarjaya.
Pembuatan anyaman bambu berpola bedeg semeri ini lebih banyak digemari oleh pencinta barang kerajinan seni dibandingkan dengan anyaman berpola biasa. Hal inilah yang akan memberikan peluang kerja bagi penduduk Tigawasa. Oleh karena itu, kelian adat dan kepala desa Tigawasa sudah melaksanakan suatu program pelatihan menganyam kepada masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas anyaman bambu di Tigawasa sendiri. Sampai saat ini program tersebut masih berjalan. semoga anyaman bambu berpola bedeg semeri ini tetap eksis dan jauh dari kepunahan.

SIMPULAN
Desa Tigawasa merupakan salah satu desa Bali Age yang terkenal dengan anyaman bambunya. Anyaman bambu yang terkenal di daerah Tigawasa adalah anyaman bambu yang berpola bedeg semeri berupa bedeg dan sokasi, dimana pola ini merupakan kolaborasi antara kebudayaan jepang dengan Tigawasa sendiri. Selain sebagai barang kerajinan yang dilestarikan, anyaman bambu berpola bedeg semeri ini merupakan salah satu mata pencaharian penduduk Tigawasa.

DAFTAR PUSTAKA
Situmorang, Sitor. 2001. The Rites of the Bali Aga. Metafor Publising. Sumatra Barat.

http://babadbali.blogspot.com/2007/12/terbitan-pertamalembaga-babad-bali.htmlsir.twotech.

Debroy, Bibek & Debroy, Divali. 2001. Markandeya Purana. Paramitha. Surabaya














Daftar Isi

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN................................. 1

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Ilmu Leak
 Apa itu leak?......................................... 3
 Kenapa Harus Di Kuburan?..................... 9
 Proses Ngeleak………………………………… 10
2.2 Tanggapan Masyarakat Global tentang Leak
 Pengertian masyarakat dan Masyarakat modern. 13
 Beda penestian, pengiwa, dan leak………… 14
 Sangkepan Leak……………………………….. 16
 Perlukah leak dikomersilkan?.................... 17

BAB III PENUTUP
3.1 Simpulan 20
3.2 Saran 20

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN
HERVINA SUDAH PUNYA BLOG