Senin, 19 Desember 2011

Tugas Individu Psikologi Pendidikan PENERAPAN QUANTUM LEARNING DI PENDIDIKAN KESETARAAN NON FORMAL (Ditinjau dari Psikologis Warga Belajar)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemerintah sedang gencar-gencarnya melaksanakan program pendidikan dalam rangkan meningkatkan kualitas pendidikan itu sendiri. Hal ini dimaksudkan agar makin tumbuh kesadaran akan pentingnya pendidikan, baik itu pendidikan formal maupun non formal (pendidikan luar sekolah) mendorong masyarakat untuk terus berpartisipasi aktif di dalamnya. Bertitik tolak dari permasalahan yang dihadapi, pendidikan non formal berusaha mencari jawaban dengan menelusuri pola-pola pendidikan yang ada, seperti pesantren, dan pendidikan keagamaan lainnya yang keberadaannya sudah jauh sebelum Indonesia merdeka, bertahan hidup sampai sekarang dan dicintai, dihargai dan diminati serta berakar dalam masyarakat. Kelanggengan lembaga-lembaga tersebut karena tumbuh dan berkembang, dibiayai dan dikelola oleh dan untuk kepentingan masyarakat. Di sisi lain, masyarakat merasakan adanya kebermaknaan dari program-program belajar yang disajikan bagi kehidupannya, karena pendidikan yang diselenggarakan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi nyata masyarakat. Pendidikan nonformal lebih banyak berbicara dan berbuat dari segi realita hidup dan kehidupan masyarakat. Perhatiannya lebih terpusat pada usaha-usaha untuk membantu terwujudnya proses pembelajaran di masyarakat. Dalam konteks ini orientasi pendidikan nonformal lebih menekankan pada tujuan agar masyarakat memiliki kemampuan untuk menghadapi permasalahan di lingkungannya, kemudian mencari upaya yang tepat untuk memecahkannya sehingga masyarakat dapat memperbaiki hakikat dan harkat hidupnya. Pendidikan nonformal merupakan bagian dari relung-relung kehidupan masyarakat yang akan dicari dan diharapkan peransertanya dalam memajukan kehidupan di masyarakat, dengan memiliki trade mark tersendiri yang membedakan dari jalur pendidikan yang lain. Ada banyak alasan bagi kita untuk mempersoalkan bagaimana nasib pendidikan moral dan budi pekerti dikembangkan dan diajarkan kepada anak-anak kita di sekolah. Setiap bentuk anomali perilaku anak-anak di sekolah, baik dalam bentuk tawuran antar warga belajar, penyalahgunaan obat terlarang, penyimpangan perilaku seksual, hingga penistaan peran guru melalui facebook, misalnya, selalu disikapi dengan pendekatan serba formal, termasuk di antaranya usulan tentang perlunya membuat model kurikulum pengembangan pendidikan moral dan budi pekerti. Selain kurikulum, sepertinya tidak ada lagi cara lain untuk memperbaiki perilaku warga belajar menyimpang. Para penggiat dan pemikir pendidikan sejak lama gundah tentang suasana pendidikan yang berlangsung di sekolah. Menurut Baedowi (2010) Orang seperti Ivan Illich dan Paolo Freire bahkan mengkritik dengan pedas sekali bahwa sekolah telah menjadikan para warga belajar seperti robot karena kurangnya mereka dilatih untuk memberi respon kreatif. Lebih hebat lagi bahkan keduanya juga menuduh sekolah telah memasung kebebasan, kreativitas serta membunuh daya pikir anak. Sejak lama sistem sekolah lebih banyak menggunakan pendekatan kognitif, tetapi abai dalam menumbuhkan dan melatih aspek afektif dan psikomotorik warga belajar secara tajam. Kritik lain juga menyebutkan bahwa pendidikan dengan pola sekolah sama saja dengan industri yang bak sebuah mesin, memperlakukan anak-anak sebagai bahan baku yang siap dicetak menjadi orang yang hanya siap bekerja di pabrik. Karena lebih mementingkan aspek kognitif, sekolah sangat mendorong para warga belajar untuk menjadi manusia-manusia individualis yang lupa bahwa sesungguhnya mereka adalah makhluk sosial. Belajar seperti kompetisi untuk saling mengalahkan dan menyisihkan orang lain, sehingga menimbulkan banyak sekali labeling seperti murid pandai dan murid bodoh, kelas biasa dan kelas khusus, sekolah nasional dan sekolah internasional. Karena itu wajar jika orang seperti Ivan Illich dan Paulo Freire mengganggap bahwa proses pendidikan di sekolah tak ubahnya seperti ladang tempat di mana para guru membunuh dan menindas potensi kemanusiaan warga belajar-siswi mereka. Cerita dan fakta di atas menunjukkan bahwa keterikatan (engagement) secara psikologis atau emosional sesungguhnya musuh guru itu sendiri. Pada konteks pendidikan di sekolah, jangan-jangan lebih banyak guru yang memberi PR daripada yang memeluk dan mencium warga belajarnya di kelas. Jangan-jangan guru-guru kita memang benar seperti dugaan Paulo Freire, mengganggap warga belajar-siswi mereka sebagai tahanan (prisoners) atau pekerja (employees) yang harus selalu ditekan untuk belajar dan belajar, tetapi bukan mendidik. Di sinilah sesungguhnya pembeda antara pengajar dan pendidik. Dibutuhkan guru dengan tingkat kecerdasan emosional yang tinggi, karena ikatan emosional yang lebih akan menyebabkan hubungan guru-warga belajar menjadi lebih akrab, dinamis, dan mudah membuat mereka memahami sekaligus mematuhi aturan yang ada. Oleh karena itu, Quantum learning (QL) adalah model pembelajaran yang cocok diterapkan di pendidikan non formal, khususnya program kesetaraan paket C, yang notabene warga belajarnya memiliki psikologis yang beragam. QL ialah kiat, petunjuk, strategi, dan seluruh proses belajar yang dapat mempertajam pemahaman dan daya ingat, serta membuat belajar sebagai suatu proses yang menyenangkan dan bermanfaat. Beberapa teknik yang dikemukakan merupakan teknik meningkatkan kemampuan diri yang sudah populer dan umum digunakan. Namun Bobbi DePorter mengembangkan teknik-teknik yang sasaran akhirnya ditujukan untuk membantu para warga belajar menjadi responsif dan bergairah dalam menghadapi tantangan dan perubahan realitas (yang terkait dengan sifat jurnalisme). Oleh karena itu, pada makalah ini akan dibahas lebih jauh tentang pengertian dan langkah QL, apa itu pendidikan non formal, bagaimana psikologis warga belajar di pendidikan non formal, serta penerapan QL di pendidikan non formal. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut. 1. Apa yang dimaksud Quantum Learning? 2. Bagaimana langkah-langkah Quantum Learning? 3. Bagimana pembelajaran di pendidikan non formal? 4. Bagimana psikologis peserta didik pada pendidikan non formal? 5. Bagaimana penerapan Quantum Learning pada pendidikan non formal? 1.3 Tujuan Penulisan Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut. 1. Mengetahui Quantum Learning 2. Mendeskripsikan langkah-langkah Quantum Learning 3. Mendeskripsikan pembelajaran di pendidikan non formal 4. Menjelaskan Psikis Peserta Didik pada Pendidikan Non Formal 5. Menjelaskan penerapan Quantum Learning pada pendidikan non formal 1.4 Manfaat Penulisan Bagi Pembaca Agar dapat menambah pengetahuan di bidang pendidikan, khususnya penerapan pembelajaran di pendidikan non formal. Selain itu agar pembaca tidak memandang sebelah pihak tentang pendidikan non formal. Bagi Penulis Agar dapat menerapkan model pembelajaran QL di masyarakat, khususnya di pendidikan non formal. 1.5 Metode Penulisan Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah metode kajian pustaka yaitu mencari sumber dari referensi yang relevan seperti buku dan internet. Selain itu, metode yang digunakan adalah metode wawancara langsung dengan penyelenggara pendidikan non formal khususnya program kesetaraan paket C. BAB II PEMBAHASAN 2.1 Definisi Quantum Learning (Pembelajaran Quantum) Aliran psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya terhadap arah pengembangan teori dan praktik pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan semata (Wikipedia, 2011). Quantum Learning didasari oleh salah satu teori behavioristik (perilaku) yaitu teori belajar menurut Thorndike (Wikipedia, 2011). Selanjutnya (Slavin, 2008) menambahkan bahwa teori belajar menurut Thorndike menyatakan belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut pula dengan teori koneksionisme Quantum Learning (QL) dimulai di Super Cam, sebuah program percepatan berupa Quantum Learning yang ditawarkan learning forum yaitu sebuah perusahaan pendidikan internasional yang menekankan perkembangan keterampilan akademis dan keterampilan pribadi (DePorter & Hernacki, 2011). QL diciptakan berdasarkan teori pendidikan seperti accelerated learning (Lozanov), multiple intelligences (Gardner), neuro-linguistic-programming (Grinder dan Bandler), experiental learning (Hahn), socratic inquiry, cooperative learning (Johnson dan Johnson), dan element of effective instruction (Hunter). Tokoh utama di balik pembelajaran kuantum adalah Bobbi DePorter, seorang ibu rumah tangga yang kemudian terjun di bidang bisnis properti dan keuangan, dan setelah semua bisnisnya bangkrut, akhirnya DePorter menggeluti bidang pembelajaran. Dialah perintis, pencetus, dan pengembang utama pembelajaran kuantum. Semenjak tahun 1982, DePorter mematangkan dan mengembangkan gagasan pembelajaran kuantum di SuperCamp, sebuah lembaga pembelajaran yang terletak di Kirkwood Meadows, Negara Bagian California, Amerika Serikat. Menurut DePorter (2011) QL adalah seperangkat metode dan falsafah belajar yang terbukti efektif di sekolah dan bisnis untuk semua tipe orang dan segala usia. QL pertama kali digunakan di Supercamp. Di Supercamp ini menggabungkan rasa percaya diri, keterampilan belajar, dan keterampilan berkomunikasi dalam lingkungan yang menyenangkan. QL didefinisikan sebagai interaksi-interaksi yang mengubah energi menjadi cahaya. Semua kehidupan adalah energi. Rumus yang terkenal dalam fisika kuantum adalah massa kali kecepatan cahaya kuadrat sama dengan energi. Atau sudah biasa dikenal dengan E=mc². Tubuh kita secara materi di ibaratkan sebagai materi, sebagai pelajar tujuan kita adalah meraih sebanyak mungkin cahaya. Interaksi, hubungan, inspirasi agar menghasilkan energi cahaya penerapan QL dalam pembelajaran. Jadi QL merupakan suatu kiat, petunjuk, strategi dan seluruh proses belajar yang dapat mempertajam pemahaman daya ingat, serta belajar sebagai proses yang menyenangkan dan bermakana. 2.2 Langkah Quantum Learning Quantum Learning memiliki lima prinsip (DePorter, 2000) sebagai berikut. 1. Segalanya berbicara, maksudnya bahwa seluruh lingkungan kelas hendaknya dapat mengirim pesan tentang belajar. 2. Segalanya bertujuan, maksudnya semua yang terjadi dalam penggubahan pembelajaran harus mempunyai tujuan yang jelas dan terkontrol. 3. Pengalaman sebelum pemberian nama, maksudnya proses pembelajaran paling baik terjadi ketika warga belajar telah mengalami informasi sebelum mereka memperoleh nama untuk apa yang mereka pelajari. 4. Mengakui setiap usaha, maksudnya usaha yang telah dilakukan oleh warga belajar harus mendapat pengakuan dari guru dan warga belajar lainnya, agar menumbuhkan kepercayaan pada diri warga belajar yang telah berusaha dalam belajar. 5. Merayakan keberhasilan, maksudnya setiap usaha dan hasil dalam suatu pembelajaran selayaknya harus dirayakan dengan tujuan untuk meningkatkan asosiasi emosi positif dalam belajar. Pujian yang diberikan oleh guru digunakan untuk memperkuat perilaku yang diinginkan dan memberikan balikan kepada warga belajar atas apa yang mereka lakukan dengan baik. Selanjutnya DePorter mengembangkan langkah pembelajaran kuantum melalui istilah TANDUR yang mengandung makna : 1. Tumbuhkan, maksudnya minat warga belajar dalam belajar harus ditumbuhkan sehingga warga belajar menjadi termotivasi dalam belajar dan memahami Apa Manfaatnya Bagiku (AMBAK). AMBAK adalah motivasi yang didapat dari pemilihan secara mental antara manfaat dan akibat-akibat suatu keputusan (DePorter, 2000) 2. Alami, maksudnya dalam pembelajaran, warga belajar hendaknya diberikan pengalaman nyata yang dapat dimengerti oleh semua warga belajar. 3. Namai, maksudnya dalam pembelajaran sediakan kata kunci, konsep, model, rumus, strategi dan metode lainnya. 4. Demonstrasikan, maksudnya warga belajar hendaknya diberi kesempatan untuk menunjukkan kemampuannya. 5. Ulangi, maksudnya warga belajar harus diberi kesempatan mengulangi apa yang telah mereka pelajari sehingga warga belajar dapat menegaskan “Aku tahu bahwa aku memang tahu”. 6. Rayakan, maksudnya respon pengakuan untuk penyelesaian, partisipasi, dan pemerolehan keterampilan dan ilmu pengetahuan. DePorter menyatakan QL memiliki asas utama yaitu “bawalah dunia mereka ke dunia kita dan antarkan dunia kita ke dunia mereka”. Asas ini mengisyaratkan pentingnya seorang guru memasuki dunia warga belajar sebagai langkah awal dalam pembelajaran, sehingga warga belajar tidak bosan dalam pembelajaran, dan mempermudah warga belajar mengoptimalkan hasil belajar yang didapat dari pembelajaran. Selain itu juga bisa menghindari miskonsepsi warga belajar dan menuju ke konsep ilmiah. QL menggunakan berbagai macam metode ceramah, tanya jawab, diskusi, demonstrasi, kerja kelompok, eksperimen, dan metode pemberian tugas. Suyatno (2009) menyatakan metode ceramah bermanfaat untuk mengetahui fakta yang sudah diajarkan dan proses pemikiran yang telah diketahui serta untuk merangsang warga belajar agar mempunyai keberanian dalam mengemukakan pertanyaan, menjawab atau mengusulkan pendapat. Metode demonstrasi membantu warga belajar dalam memahami proses kerja suatu alat atau pembuatan sesuatu, membuat pelajaran menjadi lebih jelas dan lebih konkret serta menghindari verbalisme, merangsang warga belajar untuk lebih aktif mengamati dan dapat mencobanya sendiri. Metode kerja kelompok akan membuat warga belajar aktif mencari bahan untuk menyelesaikan tugas dan menggalang kerjasama dan kekompakan dalam kelompok. Metode eksperimen membantu warga belajar untuk mengerjakan sesuatu, mengamati prosesnya dan mengamati hasilnya, membuat warga belajar percaya pada kebenaran kesimpulan percobaannya sendiri. Metode pemberian tugas akan membina warga belajar untuk mencari dan mengolah sendiri informasi dan komunikasi serta dapat membantu warga belajar untuk mengembangkan kreativitasnya. Metode yang telah dikemukakan di atas tidak ada yang sempurna bila berdiri sendiri, sehingga harus digunakan secara bergantian untuk saling melengkapi kekurangan-kekurangan yang ada. Penggunaan berbagai metode penyajian pelajaran secara bergantian akan membuat warga belajar menikmati kegiatan belajarnya dan tidak merasakan belajar yang monoton, serta perbedaan karakteristik pada warga belajar dapat terlayani dengan baik. 2.3 Pendidikan Non Formal Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan (Wikipedia, 2010). Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional. Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja. Pendidikan kesetaraan meliputi Paket A (setara SD), Paket B (setara SMP) dan Paket C (setara SMU), serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik seperti: Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, majelis taklim, sanggar, dan lain sebagainya, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik. Kelompok Belajar atau Kejar adalah jalur pendidikan nonformal yang difasilitasi oleh pemerintah untuk warga belajar yang belajarnya tidak melalui jalur sekolah, atau bagi warga belajar yang belajar di sekolah berbasis kurikulum non pemerintah seperti Cambridge, dan IB (International Baccalureate). Kejar terdiri atas tiga paket yaitu Paket A (setara SD), Paket B (setara SMP) dan Paket C (setara SMU). Setiap peserta Kejar dapat mengikuti Ujian Kesetaraan yang diselenggarakan oleh Departemen Pendidikan Nasional. 2.4 Psikologis Warga Belajar pada Pendidikan Non Formal Menurut asalnya katanya, psikologi berasal dari bahasa Yunani Kuno: Psyche yang berarti jiwa dan logia yang artinya ilmu sehingga, secara etimologis psikologi dapat diartikan dengan ilmu yang mempelajari tentang jiwa (Wikipedia, 2011). Selanjutnya Slavin (2008) mengatakan psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari perilaku manusia dalam hubungan dengan lingkungannya. Sedangkan psikologi pendidikan adalah akumulasi pengetahuan, kebijaksanaan, da teori yang didasarkan pada pengalaman yang seharusnya dimiliki oleh guru untuk memecahkan permasalahan keseharian dengan cerdas. Jika dikaitkan dengan jalur pendidikan, terjadi perbedaan antara psikologis anak di pendidikan formal dengan anak di pendidikan non formal khususnya pendidikan kesetaraan. Teori yang mendukung adalah teori perilaku (behavioristik). Teori ini lalu berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah pengembangan teori dan praktik pendidikan danpembelajaran yang dikenal sebagai aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Tokoh-tokoh aliran behavioristik di antara lain Thorndike, Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skinner. Berikut akan dibahas karya-karya para tokoh aliran behavioristik dan analisis serta peranannya dalam pembelajaran. a) Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut pula dengan teori koneksionisme (Slavin, 2008). Ada tiga hukum belajar yang utama, menurut Thorndike yakni (1) hukum efek; (2) hukum latihan dan (3) hukum kesiapan (Bell, Gredler, 1991). Ketiga hukum ini menjelaskan bagaimana hal-hal tertentu dapat memperkuat respon. a) Watson mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat diamati (observable) dan dapat diukur. Jadi walaupun dia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun dia menganggap faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan karena tidak dapat diamati. Watson adalah seorang behavioris murni, karena kajiannya tentang belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperi Fisika atau Biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana dapat diamati dan diukur. b) Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respon untuk menjelaskan pengertian belajar. Namun dia sangat terpengaruh oleh teori evolusi Charles Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar organisme tetap bertahan hidup. Oleh sebab itu Hull mengatakan kebutuhan biologis (drive) dan pemuasan kebutuhan biologis (drive reduction) adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus (stimulus dorongan) dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat berwujud macam-macam. Penguatan tingkah laku juga masuk dalam teori ini, tetapi juga dikaitkan dengan kondisi biologis (Bell, Gredler, 1991). c) Azas belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontiguiti. Yaitu gabungan stimulus-stimulus yang disertai suatu gerakan, pada waktu timbul kembali cenderung akan diikuti oleh gerakan yang sama (Bell, Gredler, 1991). Guthrie juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang dapat terjadi. Penguatan sekedar hanya melindungi hasil belajar yang baru agar tidak hilang dengan jalan mencegah perolehan respon yang baru. Hubungan antara stimulus dan respon bersifat sementara, oleh karena dalam kegiatan belajarpeserta didik perlu sesering mungkin diberi stimulus agar hubungan stimulus dan respon bersifat lebih kuat dan menetap. Guthrie juga percaya bahwa hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang. d) Konsep-konsep yang dikemukanan Skinner tentang belajar lebih mengungguli konsep para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun lebih komprehensif. Menurut Skinner hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang dikemukakan oleh tokoh tokoh sebelumnya. Menurutnya respon yang diterima seseorang tidak sesederhana itu, karena stimulus-stimulus yang diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan memengaruhi respon yang dihasilkan. Respon yang diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya memengaruhi munculnya perilaku (Slavin, 2008). Oleh karena itu dalam memahami tingkah laku seseorang secara benar harus memahami hubungan antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang mungkin timbul akibat respon tersebut. Skinner juga mengemukakan bahwa dengan menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab setiap alat yang digunakan perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya. Selanjutnya terkait dengan pendidikan kesetaraan ini merupakan kegiatan yang dapat dilaksanakan dalam pendidikan luar sekolah sebagai suatu sub sistem pendidikan non formal. Yang dimaksud pendidikan non formal adalah “pendidikan yang teratur dengan sadar dilakukan tetapi tidak terlalu mengikuti peraturan-peraturan yang tetap dan ketat”. Dengan adanya batasa pengertian tersebut, rupanya pendidikan non formal tersebut berada antara pendidikan formal dan pendidikan informal. UU No 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional menyebutkan bahwa jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan mengganti. Berkenaan dengan hal tersebut di atas, maka salah satu upaya yang ditempuh untuk memperluas akses pendidikan guna mendukung pendidikan sepanjang hayat adalah melalui pendidikan kesetaraan. Warga belajar (peserta didik) merupakan insan yang melanjutkan pendidikannya pada jalur pendidikan nonformal seperti Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), baik Paket-A, Paket-B, Paket-C. Khususnya untuk Paket C, Pada tataran inilah kita akan sulit menerapkan berbagai kebijakan pendidikan kesetaraan manakala kita tidak membedah terlebih dulu aspek psikologis warga belajar. Motivasi warga belajar mengikuti Paket C harus kita gali lebih mendalam sehingga akan diperoleh kesimpulan yang mampu memberikan solusi. Selama ini kita memberikan ‘obat generik’ kepada warga belajar, misalnya konstruksi kebijakan pengayaan keterampilan vokasi dan pengembangan kepribadian professional tanpa studi awal yang mendalam. Sehingga yang terjadi adalah pelatihan vokasional yang hanya sekedar dilaksanakan tanpa mempertimbangkan kebutuhan sebenarnya dari warga belajar. Begitu pula dengan sebagian peserta didik Paket C yang terpaksa putus sekolah karena hamil di luar nikah, tentunya juga punya motivasi tersendiri. Warga belajar dengan latar belakang seperti ini sudah barang tentu memiliki permasalahan psikologis yang tidak sederhana. Saya sempat melihat seorang warga belajar perempuan mengikuti ujian di dalam ruangan, sementara anaknya yang masih balita menunggu di selasar kelas. Jelas orientasi warga belajar tersebut adalah untuk memperoleh ijasah Paket C setara SMA agar paling tidak lebih mudah untuk mencari pekerjaan apa pun. Tentunya akan lebih mudah mencari pekerjaan dengan bekal ijasah Paket C daripada SMP. Pada saat ini pemilik counter HP pun lebih cenderung memilih karyawan yang berijasah SMA disbanding SMP. Sampai disini, kita menyadari bahwa yang diperlukan oleh mereka adalah pembimbing dalam artian yang bisa memahami dan memberikan layanan pendampingan, tidak sekedar membelajarkan agar mereka menguasai kompetensi dasar setiap mata pelajaran. Karena dalam perjalanan selama proses pembelajaran tutor akan banyak bersinggungan dengan kondisi psikologis warga belajar yang memiliki beragam masalah dan latar belakangnya. Pada tataran inilah saya tertarik dengan slogan PTK PNF yaitu ‘tidak sekedar guru’. Tutor tidak hanya bertindak selaku pendidik, namun juga pembimbing sekaligus konselor. Kembali kepada persoalan keterampilan fungsional yang dipandang menjadi ciri khas pendidikan kesetaraan. Berbagai alasan yang dimiliki warga belajar ketika menyatakan ikut serta Paket C yang berbeda, maka alangkah tidak bijaksana jika kita memberikan program keterampilan fungsional yang sama jenisnya kepada satu kelompok belajar. Namun sayangnya regulasi pengajuan dana bantuan operasional atau block grant sulit mengakomodasi adanya diversifikasi jenis keterampilan pada satu kelompok belajar. Inilah kesulitan yang dihadapi, sehingga ketika kebijakan tersebut diimplementasikan belum tentu mengakomodasi kebutuhan belajar setiap warga belajar. Karena terkadang yang menjadi keinginan kita belum tentu merupakan kebutuhan mereka. 2.5 Penerapan Quantum Learning pada Pendidikan Non Formal QL mengacu konsep yaitu, “bawalah dunia mereka ke dunia kita, dan antarkan dunia kita ke dunia mereka”. Inilah asas utama yang menjadi alasan dasar di balik segala strategi, model, dan keyakinan QL. Segala hal yang dilakukan dalam QL berorieontasi pada setiap interaksi dengan warga belajar, setiap rancangan kurikulum, dan setiap metode instruksional yang dibangun di atas prinsip, “bawalah dunia mereka ke dunia kita, dan antarkan dunia kita ke dunia mereka”. QL juga memiliki lima prinsip, atau kebenaran tetap. Serupa dengan asas utama, bawalah dunia mereka ke dunia kita, dan antarkan dunia kita ke dunia mereka, prinsip-prinsip ini mempengaruhi seluruh aspek QL. Jika dikaitkan dengan kondisi warga belajar pada pendidikan formal prinsip-prinsip tersebut menjadi sebagai berikut. 1) Segalanya berbicara Segalanya dari lingkungan kelas hingga bahasa tubuh, dari kertas yang dibagikan hingga rancangan pelajaran, semuanya mengirimkan pesan tentang belajar. Oleh karena itu, peran guru sangat penting dalam mengkondisikan kelas senyaman mungkin, apalagi anak di pendidikan formal sangat berbeda psikologisnya dengan anak pendidikan non formal khususnya paket C. 2) Segalanya bertujuan Semua yang terjadi dalam perancangan tutor mempunyai tujuan semuanya. Apapun yang dibuat tutor untuk warga belajar harus memiliki tujuan, sehingga rancangan pembelajaran tersebut dapat bermanfaat bagi warga belajar. 3) Pengalaman sebelum pemberian nama Otak kita berkembang pesat dengan adanya rangsangan kompleks, yang akan menggerakkan rasa ingin tahu. Oleh karena itu, proses belajar paling baik terjadi ketika warga belajar telah mengalami informasi sebelum mereka memperoleh nama untuk apa yang mereka pelajari. Khususnya untuk anak paket C, karena mereka memiliki kondisi yang berbeda-beda dan memiliki relasi yang lebih maka mereka dengan mudah mendapatkan informasi sebelum mengetahui materi yang diajarkan. Misalnya meminjam catatan kepada kakak kelasnya terdahulu. 4) Akui setiap usaha Belajar mengandung resiko. Belajar berarti melangkah keluar dari kenyamanan. Pada saat warga belajar mengambil langkah ini, mereka patut mendapat pengakuan atas kecakapan dan kepercayaan diri mereka. Misalnya, ketika warga belajar diberikan tugas rumah dan hasilnya bagus, maka sebagai tutor perlu mengakui usaha mereka, sehingga menjadi motivasi warga belajar. 5) Jika layak dipelajari, maka layak pula dirayakan Perayaan adalah sarapan pelajar juara. Perayaan memberikan umpan balik mengenai kemajuan dan meningkatkan asosiasi emosi positif dengan belajar. Misalnya memberikan tepuk tangan ketika salah seorang warga belajar mau maju presentasi di depan. Quantum Learning hampir sama dengan sebuah simfoni. Jika anda menonton sebuah simfoni, ada banyak unsur yang menjadi faktor pengalaman musik anda. Kita dapat membagi unsur-unsur tersebut menjadi dua kategori : konteks dan isi (context and content). Konteks adalah latar untuk pengalaman anda. Konteks merupakan keakraban ruang orkestra itu sendiri (lingkungan), semangat konduktor dan para pemain musik (suasana), keseimbangan instrumen dan musisi dalam bekerjasama (landasan), dan interprestasi sang maestro terhadap lembaran musik (rancangan). Unsur-unsur ini berpadu dan kemudian, menciptakan pengalaman bermusik yang menyeluruh. QL berakar dari upaya Dr. Georgi Lozanov, seorang pendidik berkebangsaan Bulgeria yang bereksperimen dengan apa yang disebutnya sebagai “suggestology“ atau “suggestopedia“. Prinsipnya adalah bahwa sugesti dapat dan pasti mempengaruhi hasil situasi belajar, dan setiap detail apapun memberikan sugesti positif ataupun negatif. Beberapa teknik yang digunakannya untuk memberikan sugesti positif adalah mendudukkan murid secara nyaman, meningkatkan partisipasi individu, menggunakan poster-poster untuk memberikan kesan besar sambil menonjolkan informasi, dan menyediakan guru-guru yang terlatih baik dalam seni pelajaran sugestif. Istilah yang hampir dapat dipertukarkan dengan suggestology adalah ”pemercepatan belajar“ (accelereted learning). Pemercepatan belajar didefinisikan sebagai “memungkinkan warga belajar untuk belajar dengan kecepatan yang mengesankan, dengan upaya yang normal, dan dibarengi kegembiraan“. Cara ini menyatukan unsur-unsur yang secara sekilas tampak tidak mempunyai persamaan : hiburan, permainan, warna, cara berpikir positif, kebugaran fisik, dan kesehatan emosional. Namun semua unsur ini bekerjasama untuk menghasilkan pengalaman belajar yang efektif. Menurut Suyatno (2009) QL mencangkup aspek-aspek penting dalam program neurolinguistik (NLP), yaitu suatu penelitian tentang bagaimana otak mengatur informasi. Program ini meneliti hubungan antara bahasa dari prilaku dan dapat digunakan untuk menciptakan jalinan pengertian antara warga belajar dan guru. Para pendidik dengan pengetahuan NLP mengetahui bagaimana menggunakan bahasa yang positif untuk meningkatkan tindakan-tindakan positif yang merupakan faktor penting untuk merupakan fungsi otak yang paling efektif. Semua ini dapat pula menunjukkan dan menciptakan gaya belajar yang terbaik dari setiap orang, dan menciptakan ”pegangan” dari saat-saat keberhasilan yang meyakinkan. QL memiliki paradigma yang harus dianut oleh warga belajar dan tutor adalah sebagai berikut (DePorter & Hernacki, 2011). a. Setiap orang adalah tutor dan sekaligus warga belajar sehingga bisa saling berfungsi sebagai fasilitator. b. Bagi kebanyakan orang belajar akan sangat efektif jika dilakukan dalam suasana yang menyenangkan, lingkungan dan suasana yang tidak terlalu formal, penataan duduk setengah melingkar tanpa meja, penataan sinar atau cahaya yang baik sehingga peserta merasa santai dan relaks. c. Setiap orang mempunyai gaya belajar, bekerja dan berpikir yang unik dan berbeda yang merupakan pembawaan alamiah sehingga kita tidak perlu merubahnya dengan demikian perasaan nyaman dan positif akan terbentuk dalam menerima informasi atau materi yang diberikan oleh fasilitator. d. Modul pelajaran tidak harus rumit tapi harus dapat disajikan dalam bentuk sederhana dan lebih banyak kesuatu kasus nyata atau aplikasi langsung. e. Dalam menyerap dan mengolah informasi otak menguraikan dalam bentuk simbol atau asosiatip sehingga materi akan lebih mudah dicerna bila lebih banyak disajikan dalarn bentuk gambar, diagram, flow atau simbol. f. Kunci menuju kesuksesan model quantum learning adalah latar belakang (background) musik klasik atau instrumental yang telah terbukti memberikan pengaruh positip dalarn proses pembelajaran. Musik klasik dari Mozart, bach, Bethoven, dan Vivaldi dapat meningkatkan kemampuan mengingat, mengurangi stress, meredakan ketegangan, meingkatkan energi dan membesarkan daya ingat. Musik menjadikan orang lebih cerdas. g. Penggunaan Warna dalam model quantum learning dapat meningkatkan daya tangkap dan ingat sebanyak 78%. h. Metoda peran dimana peserta berperan lebih aktif dalam membahas materi sesuai dengan pengalamannya melalui pendekatan terbalik yaitu membuat belajar serupa bekerja (pembelajaran orang dewasa) i. Sistim penilaian yang disarankan untuk abad 21 dalam pembelajaran adalah 50% penilaian diri sendiri, 30% penilaian teman, 20% penilaian trainer atau atasan. j. Umpan balik yang positif akan mampu memotivasi anak untuk berprestasi namun umpan balik negative akan membuat anak menjadi frustasi. Ini berdasar hasil riset pakar masalah kepercayaan diri, Jack Carfiled pada tahun 1982. 100 anak ditunjuk oleh periset selama sehari. Hasilnya, bahwa setiap anak rata-rata menerima 460 komentar negative dan hanya 75 komentar positif. Beberapa hal yang penting dicatat dalam QL adalah sebagai berikut. Para warga belajar dikenali tentang “kekuatan pikiran” yang tak terbatas. Ditegaskan bahwa otak manusia mempunyai potensi yang sama dengan yang dimilliki oleh Albert Einstein. Selain itu, dipaparkan tentang bukti fisik dan ilmiah yang memerikan bagaimana proses otak itu bekerja. Melalui hasil penelitian Global Learning, dikenalkan bahwa proses belajar itu mirip bekerjanya otak seorang anak 6-7 tahun yang seperti spons menyerap berbagai fakta, sifat-sifat fisik, dan kerumitan bahasa yang kacau dengan “cara yang menyenangkan dan bebas stres”. Bagaimana faktor-faktor umpan balik dan rangsangan dari lingkungan telah menciptakan kondisi yang sempurna untuk belajar apa saja. Hal ini menegaskan bahwa kegagalan, dalam belajar, bukan merupakan rintangan. Keyakinan untuk terus berusaha merupakan alat pendamping dan pendorong bagi keberhasilan dalam proses belajar. Setiap keberhasilan perlu diakhiri dengan “kegembiraan dan tepukan.” Kerangka perancangan pengajaran Quantum Learning dengan pendekatan TANDUR pada pendidikan non formal adalah sebagai berikut. a) Tumbuhkan Tumbuhkan minat belajar warga belajar dengan memuaskan rasa ingin tahu dalam bentuk : Apakah Manfaatnya Bagiku (AMBAK) jika aku mengikuti topik pelajaran ini dengan guruku? Tumbuhkan suasana yang menyenangkan di hati warga belajar, dalam suasana relaks, tumbuhkan interaksi dengan warga belajar, masuklah ke alam pikiran mereka dan bawalah alam pikiran mereka ke alam pikiran anda, yakinkan warga belajar mengapa harus mempelajari ini dan itu, belajar adalah suatu kebutuhan warga belajar, bukan suatu keharusan.Tumbuhkan niat yang kuat pada diri anda bahwa anda akan menjadi guru dan pendidik yang hebat. Alami Unsur ini mendorong hasrat alami otak untuk “menjelajah”. Cara apa yang terbaik agar warga belajar memahami informasi? Kegiatan apa yang dapat diberikan agar pengetahuan dan keterampilan yang sudah dimiliki warga belajar bertambah. b) Namai Setelah warga belajar melalui pengalaman belajar pada topik tertentu, ajak mereka untuk menulis di kertas, menamai apa saja yang telah mereka peroleh, apakah itu informasi, rumus, pemikiran, tempat dan sebagainya, ajak mereka untuk menempelkan nama-nama tersebut di dinding kelas dan dinding kamar tidurnya. c) Demonstrasikan Melalui pengalaman belajar warga belajar mengerti dan mengetahui bahwa dia memiliki kemampuan (kompetensi) dan informasi (nama) yang cukup, sudah saatnya dia mendemonstrasikan dihadapan guru, teman, maupun saudara-saudaranya. d) Ulangi Pengulangan memperkuat koneksi saraf dan menumbuhkan rasa “aku tahu bahwa aku tahu ini!”. e) Rayakan Perayaan adalah ekspresi kelompok atau seseorang yang telah berhasil mengerjakan sesuatu tugas atau kewajiban dengan baik. Jadi, jika warga belajar sudah mengerjakan tugas dan kewajibannya dengan baik, layak untuk dirayakan lewat bertepuk tangan, bernyanyi bersama-sama, atau secara bersama-sama mengucapkan “aku berhasil! BAB III PENUTUP 3.1 Simpulan 1) Quantum Learning merupakan suatu kiat, petunjuk, strategi dan seluruh proses belajar yang dapat mempertajam pemahaman daya ingat, serta belajar sebagai proses yang menyenangkan dan bermakana. 2) Langkah Quantum Learning terdiri dari tumbuhkan, alami, namai, demonstrasikan, ulangi, dan rayakan. 3) Pendidikan non formal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. 4) Kondisi psikologis anak pada pendidikan non formal beragam, dan jelas berbeda dengan psikologis anak pada pendidikan formal. 5) Penerapan Quantum Learning pada pendidikan formal harus disesuaikan dengan kondisi warga belajar, sehingga nantinya bisa bermanfaat bagi warga belajar. 3.2 Saran Quantum Learning perlu diterapkan di pendidikan non formal khususnya pendidikan kesetaraan, karena mengingat pendidikan kesetaraan sesungguhnya memiliki masalah yang sama dengan pendidikan formal. Kesulitan pendanaan, buruknya sarana prasana hingga keterbatasan pengajar, dan yang paling utama psikologis warga belajar menjadikan pendidikan kesetaraan tidak menjadi pilihan bagi mereka yang tidak mampu mengikuti pendidikan formal. Parahnya, pendidikan kesetaraan malah dijadikan ’keranjang sampah’ bagi warga belajar yang tidak lulus ujian nasional. Makalah ini setidaknya bisa dijadikan informasi berharga bagi pemerintah dan mereka yang terlibat dalam pendidikan non formal untuk semakin memacu kualitas. Agar tercipta akses pendidikan yang merata bagi anak bangsa. DAFTAR PUSTAKA Bell Gredler, E. Margaret. 1991. Belajar dan Membelajarkan. Jakarta: CV. Rajawali Moll, L. C. (Ed.). DePorter, B., & Hernacki, M. 2011. Quantum Learning (membiasakan belajar nyaman dan menyenangkan). Kaifa: Bandung Suharsaputra, U. 2011. Pendidikan Non Formal. Terdapat pada uharsputra.wordpress.com/pendidikan/pendidikan-nonformal/. Diakses tanggal 2 November 2011. Sudrajat, A. 2008. Konsep Quantum Learning. Terdapat pada http:// Konsep%20Quantum%C2%A0Learning%20%20%20akhmad%20sudrajat% 20%20tentang%20pendidikan. htm. Diakses tanggal 2 November 2011. Baedowi, A. 2010. Sekolah Non Formal. Terdapat pada http://kickandy.com/ friend/ 4/37/1943/read/sekolah-non-formal.html. Diakses tanggal 2 November 2011. Wikipedia. 2011. Teori Belajar Behavioristik. http://id.wikipedia.org/wiki/ Teori_Belajar_Behavioristik. Slavin, R.E. 2008. Educational Psychology: Theory and Practice. Eight Edition. Boston: Allyn and Bacon. Suyatno. 2009. Menjelajah Pembelajaran Inovatif. Surabaya: Masmedia Buana Pustaka. Armina. 2011. Pendidikan Kesetraan. Terdapat pada www.paudni.kemdiknas.go.id/ dikmas/nilem-pkbm//printxls.php? Diakses tanggal 2 November 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar